Rating: 2.9 (18 pemilih) Gunung Saba Mpolulu terletak di Kecamatan Kabaena, Kabupaten Bombana, Provinsi Sulawesi Tenggara, Indonesia. Dalam bahasa setempat, kata Saba berarti terpongkah, jatuh, atau hilang sebagian, seperti mata kapak yang sompel akibat berbenturan dengan batu atau benda keras lainnya. Sedangkan kata Mpolulu berarti kapak. Ceritarakyat Indonesia yang hendak saya kisahkan kali ini adalah tentang perjalanan Indara Pitaraa dari Sulawesi Tenggara. Cerita rakyat ini tidak seperti kebanyakan cerita rakyat Indonesia lain, yang rata-rata berkisah tentang durhaka kepada orang tua, dikutuk, dan sebagainya. Cerita rakyat berjudul Kisah Indara Pitaraa mengisahkan tentang CeritaRakyat Kalimantan Utara - Kalimantan Utara memiliki banyak sekali cerita rakyat yang telah ada secara turun temurun, hingga saat ini. 6 Legenda Dan Cerita Rakyat Dari Sumatera Yang Paing Terkenal; 1. Kisah Meninggalnya Raja Bunu. 6 Tari Adat Tradisional Dari Sulawesi Tenggara; Daftar 10 kota Besar di Pulau Sumatera; To the top DiSulawesi Tengah, juga terdapat tarian yang dilakukan oleh ribuan orang baik pria maupun wanita. Tarian ini menceritakan pergaulan dan pesan moral bangsa Indonesia yang harus selalu dilakukan, yaitu gotong royong. Agar tidak punah, masyarakat Sulawesi Tengah rutin melakukan tarian ini pada acara adat. Provinsi Sulawesi Tenggara Teladansi Buu-Buu: cerita rakyat dari Sulawesi Tenggara Husba, Zakiyah M. - Personal Name; Rivay, Ovi Soviaty - Personal Name; Description Not Available. Availability. 000129260: Cerita Rakyat Sulawesi Tenggara Orang Sulawesi Tenggara - Folklor Bacaan SD Kelas 4 5 6. Specific Detail Info. Koleksi Anak Jenjang D - Membaca Lancar. produk jasa profesi dan profesionalisme dimulai dengan melakukan. Mawasangka merupakan penamaan yang ditujukan bagi kelompok masyarakat yang ada di Sulawesi Tenggara. Mawasangka merupakan kelompok masyarakat yang mendiami sebuah kecamatan di Kabupaten Buton Tengah, Provinsi Sulawesi Tenggara. Nama Mawasangka tidak hanya ditujukan untuk kelompok masyarakat, tetapi juga diabadikan dalam nama sebuah Mawasangka pada orang-orang di Kecamatan Mawasangka, Kabupaten Buton Tengah, menyimpan kisah yang panjang. Baca juga Cerita Rakyat Batu Kurimbang Alang Asal Usul Nama Mawasangka Menurut tradisi lisan masyarakat Sulawesi Tenggara, khususnya di Kabupaten Buton Tengah, di balik nama Mawasangka ada kisah yang panjang menyertainya. Dikisahkan, dahulu ada sebuah keluarga yang datang dari Bone menuju Buton dengan menggunakan perahu. Tujuan kedatangan mereka ke Buton adalah untuk mencari kakak dari seorang perempuan. Perempuan itu pergi ke Buton bersama suaminya. Kakaknya perempuan ini telah lama meninggalkan tanah kelahirannya di Bone sepeninggal orang tuanya. Ketika dalam perjalanan menuju lokasi yang menjadi tempat kepergian kakaknya ini, cuaca kurang bersahabat dengan mereka. Perahu yang mereka tumpanginya kemudian terbalik. Bekal tak dapat diselamatkan, kecuali hanya seekor ayam jantan. Akibatnya suami istri itu terdampar di sebuah pantai dan mendirikan pondok kecil dan mencari makan di sekitar pantai tersebut. Di saat suaminya sedang mencari makanan ke hutan, munculah seorang pemuda yang membawa seekor ayam jantan. Baca juga Cerita Rakyat Batu Prasasti Pagaruyung I Pemuda ini berniat menyabung ayam miliknya dengan seekor ayam di pantai itu yang tidak lain adalah milik pasangan suami istri tadi. Anehnya, kedua ayam tersebut tidak mau berkelahi. Pemuda ini pun bingung dengan kedua ayam yang tak biasanya itu. Di tengah kebingungannya, pemuda ini melihat seorang perempuan di pondok. Ketika suami sang perempuan telah kembali, pemuda ini pun menghampiri mereka. Ketika sedang berbincang, pemuda dan perempuan ini menyadari ada yang janggal. Mereka berdua sama-sama mengenakan cincin yang sama di jarinya yang merupakan pemberian dari mendiang orang tuanya. Perempuan ini kemudian menyadari bahwa pemuda yang membawa ayam ini adalah cerita, pemuda tadi memberitahukan lokasi yang layak untuk bermukim. Kemudian, berangkatlah mereka ke lokasi yang bernama Mparigi. Di Mparigi, mereka hidup seperti biasanya dan beranak-pinak sehingga lama kelamaan kampung itu telah ramai oleh masyarakat. Kemudian, masyarakat mengangkat pemuda tadi seorang kepala suku mereka yang disebut dengan Kolakino Mparigi. Desa yang mereka tempati suatu ketika mulai sering mendapat serangan dari binatang. Akhirnya, kepala suku Mparigi melaporkan keluhannya kepada kepala suku lain, Kolakino La Mansenga. Kemudian oleh kepala suku itu, diberitahukan ada sebuah lokasi yang aman dan damai. Lokasi ini memiliki sebuah pohon besar yang daun dan buahnya beraneka ragam. Oleh karena itu, lokasi baru ini diberi nama Sau Sumangka yang artinya serba lengkap. Mereka kemudian memindahkan kampungnya di sana. Baca juga Danau Biru Kolaka Daya Tarik, Cerita Rakyat, dan Rute Setelah sekian lama, Kolakino Mpagi mendeklarasikan bahwa ialah yang pertama kali menemukan pohon ajaib itu. Namun, Kolakino La Mansenga menyangkal klaim dari Mparigi hingga terjadilah pertengkaran antara keduanya. Akibatnya, Mpasenga mengeluarkan sumpah di hadapan masyarakat, apabila benar ia yang pertama menemukan pohon itu, maka tanah sekitar pohon itu akan selalu ditimpa musibah bilmana suku Kolakino Mparigi mengelolanya. Sebaliknya, jika benar Mparigi yang pertama menemukan pohon ajaib itu, maka semoga senantiasa dilimpahi keselamatan. Benar saja, terjadilah musibah-musibah aneh di sekitar pohon itu yang berarti Kolakino La Mansenga merupakan orang pertama yang menemukan pohon itu. Semua yang ditanam oleh rakyat Mparigi mengalami gagal panen, segala ternak mengalami kematian tidak jelas, serta terjadilah musibah-musibah lainnya. Kejadian aneh yang lain adalah ketika seorang menggali ubi, tiba-tiba memancarkan air dari galian itu yang mengakibatkan kebun-kebun tergenang dan masyarakat kelaparan. Tetua dusun kemudian berunding akan melakukan upacara adat membersihkan musibah. Kemudian, disembelihlah ayam yang dibawa oleh sepasang suami istri dari Bone itu sebagai persembahan agar tidak terjadi lagi musibah. Kemudian, tempat itu dikenal dengan nama pohon ajaib itu, La Sumangka. Lambat laun, masyarakat menyebutnya menjadi Mawasangka. Baca juga Cerita Rakyat Antu Bisiak, Misteri Suara Bisikan Referensi Rasyid, A. 1998. Cerita Rakyat Buton dan Muna di Sulawesi Tenggara. Jakarta Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Mari bergabung di Grup Telegram " News Update", caranya klik link kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel. Cerita rakyat La Sirimbone dari Sulawesi Tenggara cocok untuk dijadikan sebagai pengantar tidur anak-anak. Namun, apakah kamu familier dengan ceritanya? Kalau belum, kamu bisa langsung menyimat informasi lengkapnya dalam artikel ini. Yuk, langsung cek saja!Indonesia kaya akan dongeng untuk anak-anak yang diturunkan dari generasi ke generasi. Salah satunya adalah cerita rakyat La Sirimbone dari Sulawesi Tenggara. Meskipun belum banyak orang yang tahu, tapi legenda anak laki-laki dari Pulau Sulawesi itu sebenarnya mengandung pesan moral yang bagus untuk artikel ini, terdapat uraian lengkap mengenai kisah La Sirimbone beserta unsur-unsur intrinsiknya. Selain itu ada juga pembahasan seputar fakta menarik yang barangkali bisa menjadi wawasan Penasaran ingin mengetahui secara lengkap cerita rakyat La Sirimbone dari Sulawesi Tenggara? Tanpa perlu menunggu lama, kamu bisa langsung menyimak ulasannya di bawah ini!Cerita Rakyat La Sirimbone dari Sulawesi Tenggara Pada zaman dahulu kala, hiduplah seorang wanita bernama Wa Roe dengan anak laki-laki tunggalnya bernama La Sirimbone. Suami Wa Roe sendiri telah meninggal dunia ketika putranya masih kecil. Ibu dan anak ini tinggal di sebuah gubuk di pinggir desa. Wa Roe merupakan wanita mandiri yang berusaha sebaik mungkin untuk bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari bersama anak laki-lakinya. Meskipun tidak dibesarkan dengan peran dari seorang ayah, La Sirimbone tetap tumbuh menjadi anak laki-laki yang baik hati, suka menolong, dan patuh kepada orangtua. Pada suatu hari, desa di mana Wa Roe dan La Sirimbone tinggal kedatangan pedagang kain laki-laki bernama La Petamba. Laki-laki itu berjualan dari satu rumah ke rumah lainnya. Saat tiba di rumah gubuk Wa Roe, ia sangat terkejut karena mendapati perempuan yang cantik jelita. “Aku tidak menyangka bisa berjumpa dengan wanita cantik jelita di rumah gubuk ini,” gumam La Petamba dalam hati. Laki-laki itu pun dengan gugup menawarkan kain-kain dagangannya kepada janda beranak satu tersebut. “Silakan dibeli kain-kain dagangan saya. Kain-kain ini kualitasnya bagus dengan harga yang tidak terlalu mahal,” jelas La Petamba. “Maaf, saya tidak bisa membeli kain-kain Tuan. Saya tidak memiliki uang,” jawab Wa Roe. La Petamba yang mendengar penjelasan Wa Roe kemudian mohon diri untuk berjualan ke rumah-rumah penduduk lainnya. Selama mengunjungi dari satu rumah ke rumah lainnya, pedagang kain itu tidak bisa berhenti membayangkan kecantikan wajah Wa Roe. Ketika hari mulai gelap, La Petamba segera mengemasi dagangan kainnya dan kembali pulang ke rumahnya di negeri seberang. Di rumahnya, ia masih tetap memikirkan tentang Wa Roe. Laki-laki itu pun membulatkan tekad untuk mempersunting Wa Roe. Pernikahan La Petamba dan Wa Roe Keesokan harinya, La Petamba kemudian kembali ke desa tempat Wa Roe tinggal. Tidak untuk berjualan, laki-laki berniat menghadap ke para sesepuh desa agar bisa mendapat restu untuk menikahi Wa Roe. Selain itu, ia juga meminta pertolongan para sesepuh untuk menemaninya ke rumah Wa Roe. Wa Roe yang sedang sibuk membersihkan rumah terkejut dengan kedatangan rombongan para sesepuh desa dengan pedagang kain yang mengunjungi rumahnya kemarin. Ia lalu mengesampingkan urusannya untuk menerima para tamu tersebut. “Sebelumnya, kami minta maaf Wa Roe karena sudah bertamu dengan tiba-tiba tanpa memberitahumu dahulu. Kedatangan kami di sini adalah hendak menyampaikan niat La Petamba yang ingin menikahimu,” ujar salah satu sesepuh desa. Wa Roe yang mendengar penjelasan sesepuh desa menjadi terdiam sejenak. Ia sebenarnya tidak menyangka kalau La Petamba ingin menikahinya karena mereka baru bertemu satu kali dan belum mengenal satu sama lain. Sebenarnya, Wa Roe tidak terlalu mempermasalahkan soal pernikahan karena ia lebih memikirkan nasib putra semata wayangnya, La Sirimbone. Setelah terdiam cukup lama, wanita itu akhirnya mengambil keputusan untuk menjawab pinangan La Petamba. “Baiklah. Aku bersedia menjadi istri La Petamba, tapi dengan syarat ia mau menerima dan mencintai anakku, La Sirimbone, sebagaimana anak kandungnya sendiri,” jawab Wa Roe. Setelah mendengar jawaban Wa Roe, perwakilan dari sesepuh desa pun bertanya kepada La Petamba. Mereka ingin tahu apakah laki-laki itu bersedia menerima persyaratan dari Wa Roe. “Bagaimana, La Petamba? Apakah kamu bersedia memenuhi persyaratan dari Wa Roe?” tanya sang sesepuh. “Aku bukanlah laki-laki yang membenci anak. Aku menyanggupi persyaratan Wa Roe dan berjanji akan menyayangi La Sirimbone seperti anak kandungku sendiri,” ucap La Petamba dengan penuh keyakinan. Mendengar janji dari La Petamba, Wa Roe tersentuh hatinya. Wanita itu lalu menerima pinangan La Petamba dan merencanakan kapan pernikahan itu akan dilaksanakan. Acara pernikahan yang disaksikan oleh para sesepuh dan warga desa itu berjalan dengan lancar. Baca juga Kisah Rapunzel Si Putri Rambut Panjang Versi Grimm Bersaudara dan Ulasan Lengkapnya Awal Mala Petaka Hidup La Sirimbone Kehidupan rumah tangga La Petamba dan Wa Roe berjalan dengan lancar dan dipenuhi dengan kebahagiaan. Setelah seharian berkeliling ke kampung-kampung untuk menjual kain dagangannya, laki-laki itu seringkali membawa oleh-oleh untuk La Sirimbone. Sayangnya, perlakuan baik yang ditunjukkan oleh La Petamba kepada La Sirimbone ternyata hanya berlangsung selama satu bulan. Entah mengapa, tiba-tiba saja laki-laki itu berubah sikap dan membenci kehadiran anak tirinya. Dikisahkan dalam cerita rakyat La Sirimbone dari Sulawesi Tenggara bahwa La Petamba hampir setiap hari memarahi dan memukulnya padahal anak laki-laki itu tidak melakukan kesalahan apa pun. Bahkan, laki-laki itu sampai dengan teganya menyuruh Wa Roe untuk membuang La Sirimbone ke tengah hutan. “Bang, kenapa kamu tega sekali dengan anakku. Bukankah kamu sudah berjanji untuk menyayangi La Sirimbone seperti anak kandungmu sendiri?!” teriak Wa Roe tidak terima ketika melihat putranya dipukuli terus-terusan. “Persetan dengan janji yang aku ucapkan di masa lalu. Aku hanya menyanggupi permintaanmu supaya bisa menikahimu,” balas La Petamba dengan nada marah. Melihat sikap suaminya yang tidak bisa dikontrol, Wa Roe segera menyelamatkan La Sirimbone dan mempersiapkan perbekalan untuk anaknya. Sembari menitikkan air mata, wanita ini sudah bertekad akan mengungsikan putranya ke tengah hutan supaya bisa selamat dari amukan La Petamba. Keesokan harinya, Wa Roe dan La Sirimbone pergi ke hutan. Ibu dan anak itu menempuh perjalanan yang jauh karena melalui lembah dan gunung. Setelah tiba di hutan yang lebat dan sepi, Wa Roe pun menyampaikan pesan kepada putra tercintanya. “Maafkan ibu, Anakku. Ibu terpaksa meninggalkanmu di hutan ini supaya kamu tidak lagi menjadi sasaran kemarahan ayah tirimu,” ucap Wa Roe sembari memberikan perbekalannya kepada La Sirimbone. “Tapi, bu. Bagaimana dengan nasibku? Aku tidak mau berpisah dengan ibu,” balas La Sirimbone sambil menangis. “Kuatkan dirimu. Pergilah sendiri melewati lembah dan gunung! Jagalah dirimu baik-baik karena ibu akan selalu mendoakan keselamatanmu,” ujar Wa Roe sambil berpamitan kepada anaknya. Perjumpaan La Sirimbone dengan Raksasa Perempuan La Sirimbone hanya melihat kepergian ibunya dengan tatapan nanar. Ia pun kemudian segera mengusap air matanya dan kembali menyusuri hutan. Sembari membawa bekal pemberian ibunya, La Sirimbone mengamati jalanan hutan yang ia lewati. Setelah berjalan cukup lama, La Sirimbone menemukan tapak kaki manusia yang sangat besar. Anak laki-laki itu lalu mengikuti tapak kaki raksasa tersebut. Saat sudah berjalan cukup jauh, ia tiba-tiba dikejutkan oleh suara gemuruh. La Sirimbone yang memiliki rasa penasaran tinggi pun mendekati sumber suara gemuruh itu. Ketika sudah sampai, ia melihat seorang raksasa perempuan yang sedang sibuk menumbuk. Tubuh anak laki-laki itu tiba-tiba bergetar ketakutan dan tanpa sadar mendekap kaki sang raksasa. “Hei, anak manusia! Kamu siapa dan kenapa bisa berada di tengah hutan ini?” tanya raksasa perempuan itu. Dengan tubuh yang masih gemetar ketakutan, La Sirimbone pun menjelaskan kepada raksasa perempuan itu siapa dirinya dan bagaimana ia bisa sampai di tengah hutan. Tak disangka, ternyata raksasa perempuan itu merasa iba dengan apa yang dialami La Sirimbone. “Kasihan sekali, kamu. Baiklah. Kamu boleh tinggal di rumahku untuk sementara waktu. Tapi, kamu harus masuk ke dalam kurungan,” jelas sang raksasa. “Huh? Kenapa aku harus dimasukkan ke dalam kurungan?” tanya La Sirimbone. “Aku memasukkanmu ke dalam kurungan itu untuk kebaikanmu sendiri, La Sirimbone. Di hutan ini ada raksasa laki-laki yang berkeliaran mencari mangsa. Aku hanya berusaha melindungimu,” terang raksasa perempuan itu. La Sirimbone menuruti perintah sang raksasa setelah mendengar penjelasan ada raksasa lain yang bisa mengincarnya sebagai mangsa. Setiap hari, raksasa wanita itu memberikan makanan kepada La Sirimbone dalam kurungan sampai anak laki-laki tersebut tumbuh dewasa. Perjalanan La Sirimbone Menyusuri Hutan Pada suatu hari, La Sirimbone meminta izin kepada raksasa perempuan untuk keluar dari kurungan karena ia merasa jenuh. Sang raksasa itu mengizinkannya untuk keluar dan memberikan panah sebagai perlindungan diri. Dikisahkan dalam cerita rakyat La Sirimbone dari Sulawesi Tenggara, ia pun memanfaatkan waktunya di hutan untuk berburu beragam jenis hewan. Benar saja, laki-laki itu dengan cepat belajar bagaimana caranya berburu dengan panah dan berhasil membawa pulang banyak hewan ke rumah sang raksasa. Melihat La Sirimbone yang berhasil pulang dengan selamat, raksasa wanita itu bisa mengurangi kekhawatirannya atas keselamatan laki-laki tersebut. Maka dari itu, bukan hal yang mengagetkan bila raksawa perempuan tersebut kembali mengizinkan La Sirimbone untuk keluar rumah. Berbekal dengan bubu alat penangkap ikan buatan sang raksasa wanita, La Sirimbone kemudian pergi ke sungai untuk mencari ikan. Setelah dipasang cukup lama, betapa bahagia laki-laki itu karena banyak ikan yang masuk dalam bubu-nya. Ia pun kembali memasang bubu supaya bisa diambil esok hari. Besoknya, La Sirimbone mengecek bubu yang telah ia pasang di sungai. Sayangnya, ia tidak mendapatkan hasil yang memuaskan karena tidak ada satu pun ikan yang terperangkap dalam bubu-nya. “Kenapa bisa tak ada satu pun ikan yang terjebak dalam bubu-ku? Aneh sekali,” ucap La Sirimbone dalam hati. Ia kembali memasang bubu-nya dan pulang ke rumah. Keesokan harinya, kemarahan menyelimuti La Sirimbone karena ia melihat ikan-ikan hasil tangkapannya ternyata diambil oleh jin. Laki-laki itu kemudian menyerang jin yang mencuri ikan-ikannya. Perkelahian cukup sengit terjadi antara La Sirimbone dan jin tersebut. Baca juga Cerita Putri Serindang Bulan dan Ulasan Menariknya, Pelajaran tentang Menjaga Persaudaraan Jimat Cincin dan Kalung yang Menambah Kesaktian La Sirimbone Pada akhirnya, La Sirimbonelah yang keluar sebagai pemenang karena ia berhasil menangkap jin itu. Ia tidak mau melepaskan makhluk gaib itu sampai jin tersebut berjanji akan memberikan jimat kepadanya bila dibebaskan. “Lepaskan aku. Aku berjanji akan memberikan jimat dalam bentuk cincin yang bisa menyembuhkan segala macam penyakit dan bahkan dapat menghidupkan kembali orang mati,” pinta jin itu dengan nada memelas. “Baiklah. Aku akan membebaskanmu,” jawab La Sirimbone. Setelah bebas, jin itu memberikan cincin kepada La Sirimbone sesuai dengan janjinya dan kemudian menghilang. Laki-laki itu lalu mengambil keputusan untuk pulang ke rumah raksasa perempuan. Ketika tengah menyusuri tepi sungai, La Sirimbone menyaksikan kejadian ajaib di depan matanya. ia melihat seekor babi yang mampu berjalan di atas air. Karena takjub, laki-laki itu pun memanggil sang babi. “Hei, babi! Bagaimana bisa kamu berjalan di atas air?” tanya La Sirimbone dengan terheran-heran. “Aku bisa berjalan di atas air karena jimat kalung yang ada di leherku ini,” jawab babi itu dengan bangga. “Apakah kamu memberikan jimatmu itu padaku?” pinta La Sirimbone dengan nada penuh harap. Setelah mendengar permintaan dari manusia itu, si babi terdiam sejenak. Hewan itu lalu mendekati La Sirimbone dan memberikan jimat kalungnya. “Baiklah. Aku berikan jimatku kepadamu karena aku sudah tidak begitu sering menggunakannya lagi,” jawab babi itu sambil menyerahkan jimatnya. La Sirimbone menerima jimat dari babi itu dengan senang hati. Ia lalu mengalungkan jimat itu ke lehernya dan mencoba berjalan di atas air sungai. Benar saja, laki-laki itu dapat berjalan layaknya di daratan. Pertunjukan Kemampuan La Sirimbone Ketika tengah sibuk berjalan-jalan di atas air sungai, La Sirimbone berjumpa dengan seorang nelayan yang sedang menangkap ikan. Anehnya, nelayan itu tidak menggunakan alat pancing atau jaring ikan, melainkan senjata pedang kecil. “Pak Nelayan, senjata apa yang kamu gunakan untuk mencari ikan itu?” tanya La Sirimbone. “Aku menggunakan sebuah keris pusaka yang dapat menikam sendiri jika diperintah,” jawab nelayan itu. Mendengar penjelasan Pak Nelayan, dikisahkan dalam cerita rakyat La Sirimbone dari Sulawesi Tenggara bahwa laki-laki itu pun menjadi tertarik dengan keris sakti tersebut. Ia lalu mencoba bertanya ke nelaya itu apakah keris itu bisa diberikan kepadanya. Nelayan itu berpikir cukup lama sebelum akhirnya menyetujui permintaan La Sirimbone. La Sirimbone kemudian memutuskan untuk pulang setelah menerima pemberian keris dari Pak Nelayan. Di tengah perjalanan, ia berjumpa dengan rombongan orang-orang yang tengah membawa jenazah. Laki-laki itu lalu meminta izin kepada para rombongan untuk membuktikan kemampuan jimat cincin yang ia terima dari jin di sungai. Setelah menggosok-gosokkan cincin ke pusar jenazah, orang yang telah mati benar-benar kembali hidup. Rombongan pengantar jenazah itu menatap La Sirimbone dengan takjub. Ketika rombongan masih mencoba mencerna kejadian ajaib di depan mata mereka, laki-laki itu pamit pulang ke rumah raksasa perempuan. Sesampainya di rumah, ia segera menceritakan semua kejadian yang di alaminya hari ini kepada sang raksasa. Baca juga Cerita Hikayat Asal Usul Tanjung Lesung Beserta Ulasannya yang Menarik Disimak! Pertemuan dengan Wa Ngkurorio Pada keesokan harinya, La Sirimbone kembali meminta izin kepada raksasa perempuan untuk pergi berburu binatang ke area hutan yang lebih jauh. Karena merasa La Sirimbone sudah mempunyai jimat dan senjata pusaka, raksasa perempuan itu melepas kepergian laki-laki itu tanpa rasa khawatir. La Sirimbone kemudian menyusuri kawasan lembah dan sungai yang ada di hutan tersebut. Tak terasa, ia sudah berjalan jauh dari tempat asalnya dan sampai di sebuah perkampungan. Karena kehausan, ia memberanikan diri untuk mendekati rumah yang pintunya sedang terbuka. “Permisi! Apakah ada orang di dalam rumah ini?” tanya La Sirimbone dengan nada hati-hati. Tiba-tiba saja, keluarlah seorang gadis cantik dari dalam rumah. La Sirimbone tentu saja merasa terkejut karena ia mengira akan disambut oleh orangtua. Sayangnya, wajah perempuan itu terlihat sedang gelisah dan murung. “Maaf kalau kehadiranku mengganggumu. Bolehkah aku meminta seteguk air minum?” pinta La Sirimbone. “Boleh. Silakan duduk dulu, aku akan mengambilkan air untukmu,” jawa gadis itu seraya masuk ke dapur. Tanpa menunggu lama, perempuan itu membawa segelas air putih dan menyodorkannya ke La Sirimbone. Laki-laki itu pun menyampaikan rasa terima kasihnya dan meneguk air minum tersebut. “Perkenalkan, namaku La Sirimbone. Aku hanyalah seorang pemburu yang kebetulan lewat di kampung ini untuk berburu di hutan dekat daerah sini. Apakah aku boleh tahu siapa namanu?” tanya La Sirimbone. “Namaku Wa Ngkurorio,” jawab perempuan itu dengan suara lirih. “Maaf kalau kamu tidak keberatan, kenapa kamu tampak sedih dan murung?” tanya laki-laki itu dengan penuh perhatian. “Aku sedih karena sebentar lagi aku akan mati,” jawab gadis itu dengan nada sedih. “Kamu mau mati? Apa maksudmu, Wa Ngkurorio?” tanya La Sirimbone dengan penuh kebingungan. “Aku sedang menunggu giliran untuk menjadi mangsa seekor ular naga yang sebelumnya telah memakan 7 orang saudaraku. Sekarang aku hanya hidup bersama ayah dan ibuku saja,” ujar Wa Ngkurorio. “Maka dari itu, sebaiknya kamu segera meninggalkan tempat ini kalau kamu tidak mau dimakan oleh ular naga itu,” lanjut perempuan itu. Pertarungan dengan Ular Naga yang Memangsa Penduduk Desa “Kamu tidak perlu khawatir. Ular naga itu tidak akan memakan kita karena aku akan melawannya dengan senjata pusakaku,” jawab La Sirimbone sembari mengeluarkan keris pusaka dari balik bajunya. “Tapi La Sirimbone, ular naga itu tubuhnya sangat besar dan berperilaku ganas. Meskipun seluruh penduduk kampung di sini melawannya, mereka tetap tak sanggup mengalahkan monster itu,” ujar Wa Ngkurorio dengan rasa khawatir. “Tenang saja. Kamu tidak perlu cemas. Kerisku ini sakti, kok. Aku yakin bisa mengalahkan naga itu,” jawab La Sirimbone dengan penuh keyakinan. La Sirimbone dan Wa Ngkurorio duduk dan menunggu kedatangan sang ular naga. Benar saja, ular naga itu datang ke rumah Wa Ngkurorio pada sore hari. Tanpa menyia-nyiakan kesempatan, La Sirimbone segera menyuruh kerisnya untuk menikam monster itu. Dengan secepat kilat, keris pusaka La Sirimbone menikam perut ular naga. Monster itu tidak menyangka kalau ia akan diserang secara tiba-tiba. Ketika ular naga itu ingin menyerang balik, keris sakti milik La Sirimbone telah berhasil mengoyak-oyak isi perut si monster. Tak berapa lama, ular naga itu pun mati karena kehabisan darah. Wa Ngkurorio yang sebelumnya mempertanyakan kemampuan La Sirimbone pun hanya bisa berdecak kagum. Gadis itu segera menyampaikan terima kasih kepada La Sirimbone yang telah menyelamatkan nyawanya. Kabar kematian ular naga yang tersebar membuat para penduduk kampung bersorak gembira dan menyelenggarakan pesta besar-besaran. Sementara itu, Wa Ngkurorio yang merasa telah diselamatkan La Sirimbone kemudian menyetujui bujukan para penduduk kampung yang ingin menikahkannya dengan laki-laki pemberani dan sakti itu. Kehidupan rumah tangga La Sirimbone dan Wa Ngkurorio dipenuhi dengan kebahagiaan dan ketentraman. Anak laki-laki yang dulunya ditinggalkan keluarganya itu bisa membangun keluarganya sendiri. Begitulah akhir cerita rakyat La Sirimbone dari Sulawesi Tenggara. Baca juga Cerita Rakyat Nenek Luhu dan Ulasan Lengkapnya, Dongeng Terjadinya Laguna Air Putri di Maluku Unsur Intrinsik Dongeng La Sirimbone Nah, kamu telah mengetahui bagaimana kisah lengkap La Sirimbone. Selanjutnya, saatnya kamu menyimak tentang apa saja unsur intrinsik yang ada dalam dongeng anak-anak asal Sulawesi Tenggara tersebut. Uraiannya dapat kamu cek dalam penjelasan berikut 1. Tema Inti cerita atau tema dari cerita rakyat La Sirimbone asal Sulawesi Tenggara adalah tentang keluarga. Dongeng itu mengikuti kisah hidup seorang anak laki-laki yang ditinggalkan oleh keluarganya dan akhirnya bisa mempunyai keluarga sendiri ketika ia dewasa. 2. Tokoh dan Perwatakan Beberapa tokoh yang memiliki peran dalam pengembangan cerita adalah La Sirimbone, Wa Roe, La Petamba, raksasa perempuan, jin, babi, Pak Nelayan, dan Wa Ngkurorio. La Sirimbone digambarkan sebagai tokoh yang baik hati, patuh, berani, dan penuh keberuntungan. Sementara itu, Wa Roe sebenarnya adalah ibu yang mandiri, peduli, dan sangat menyayangi anaknya. Sayangnya, ia tidak bisa melindungi La Sirimbone dari perlakuan kejam La Petamba dan meninggalkan putra satu-satunya di hutan. La Petamba memiliki watak yang egois, suka marah, dan mudah jatuh cinta dengan perempuan cantik. Laki-laki itu juga hanya suka membual karena ia terbukti mengingkari janji setelah berhasil menikahi Wa Roe. Selanjutnya, raksasa perempuan yang mulanya ditakuti oleh La Sirimbone justru menjadi sosok yang merawat dan melindunginya dari mara bahaya. Selain itu, ada juga jin, babi, dan Pak Nelayan yang memberikan jimat serta senjata pusaka mereka untuk La Sirimbone. Wa Ngkurorio merupakan seorang perempuan berwajah cantik dan berbudi luhur. Ia rela berkorban untuk dijadikan mangsa ular naga demi keselamatan ayah dan ibunya. 3. Latar Latar yang ada dalam cerita La Sirimbone terdiri dari banyak tempat, Sebut saja rumah La Sirimbone, rumah raksasa perempuan, hutan, sungai, dan rumah Wa Ngkurorio. 4. Alur Jalan cerita atau alur cerita rakyat La Sirimbone dari Sulawesi Tenggara termasuk dalam jenis alur maju atau progresif. Cerita di awali dengan perkenalan karakter La Sirimbo dengan ibunya, Wa Roe. Kehidupan keluarga itu mulanya baik-baik saja sampai datangnya La Petamba. Konflik pertama dimulai dengan perlakuan La Petamba yang tidak menepati janjinya dengan Wa Roe untuk memperlakukan La Sirimbone layaknya anak kandung sendiri. Kemudian, kisah La Sirimbone pun semakin berliku-liku dengannya ditinggalkan oleh Wa Roe di hutan. Ketika di hutan, ia berjumpa dengan raksasa perempuan yang mengizinkan La Sirimbone untuk tinggal di rumahnya. Seiring tumbuh dewasa, laki-laki itu berjumpa dengan beragam makhluk yang memberikannya jimat dan senjata pusaka. Puncak konflik terjadi ketika La Sirimbone melawan ular naga yang hendak memakan Wa Ngkurorio. Pada akhirnya, laki-laki itu sukses mengalahkan sang monster dan menikah dengan gadis yang ia selamatkan tersebut. 5. Pesan Moral Amanat atau pesan moral yang dapat kamu ambil dari kisah hidup La Sirimbone adalah untuk tetap berbuat kebaikan walaupun kadang dunia memberikanmu yang sebaliknya. Selain itu, dari tokoh utama tersebut kamu juga belajar untuk jangan mudah menyerah. Dari karakter La Petamba, kamu jadi belajar untuk tidak menjadi pribadi yang ingkar janji demi kepentingan diri semata. Bila kamu mengkhianati kepercayaan yang telah diberikan kepadamu, maka akan tiba hari di mana semua orang tidak akan bisa percaya denganmu lagi. Tidak hanya unsur intrinsik, ada juga unsur ekstrinsik yang terkandung dalam cerita rakyat La Sirimbone dari Sulawesi Tenggara. Sebut saja nilai-nilai yang berlaku di masyarakat setempat, contohnya adalah nilai budaya, moral, dan sosial. Baca juga Legenda Putri Aji Bidara Putih, Asal Usul Terbentuknya Danau Lipan Beserta Ulasan Lengkapnya Fakta Menarik Setelah mengetahui dongeng La Sirimbone beserta unsur-unsur intrinsiknya, rasanya belum lengkap kalau kamu tidak sekalian menyimak fakta menarik seputar cerita anak-anak dari Sulawesi Tenggara tersebut. Mari simak ulasannya dalam penjelasan berikut 1. Tersedia dalam Bentuk Buku Ilustrasi Cerita rakyat La Sirimbone dari Sulawesi Tenggara menjadi salah satu dongeng yang dirilis dalam bentuk ilustrasi khusus untuk anak-anak. Sehingga, anak-anak bisa lebih tertarik untuk menyimak cerita tentang anak laki-laki yang baik hati dan penuh keberuntungan tersebut. 2. Menjadi Materi Tugas Storytelling Banyak cerita rakyat di Indonesia yang menjadi bahan untuk tugas storytelling atau bercerita di depan umum dalam bahasa Inggris. Oleh sebab itu, bukan sebuah kebetulan jika dongeng La Sirimbone juga dialihbahasakan ke bahasa Inggris. Baca juga Dongeng Burung Jalak dan Kerbau Beserta Ulasannya, Kisah Persahabatan Tak Lekang Masa Cerita Rakyat La Sirimbone dari Sulawesi Tenggara yang Mengajarkan Pesan Positif Demikian ulasan kisah La Sirimbone dari Pulau Sulawesi yang bisa kami rangkum. Apakah kamu dapat mengambil pesan-pesan positif dari cerita rakyat tersebut? Kalau iya, semoga saja kamu bisa menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Bukan hanya cerita rakyat, masih banyak artikel menarik lainnya yang dapat kamu jumpai di PosKata. Beberapa di antaranya adalah legenda Danau Dendam Tak Sudah, asal mula anak Sungai Mahakam, dan dongeng Naga Erau. Selamat membaca! PenulisAulia DianPenulis yang suka membahas makeup dan entertainment. Lulusan Sastra Inggris dari Universitas Brawijaya ini sedang berusaha mewujudkan mimpi untuk bisa menguasai lebih dari tiga bahasa. EditorKhonita FitriSeorang penulis dan editor lulusan Universitas Diponegoro jurusan Bahasa Inggris. Passion terbesarnya adalah mempelajari berbagai bahasa asing. Selain bahasa, ambivert yang memiliki prinsip hidup "When there is a will, there's a way" untuk menikmati "hidangan" yang disuguhkan kehidupan ini juga menyukai musik instrumental, buku, genre thriller, dan misteri. Langsung ke konten Cerita Rakyat Nusantara Kumpulan Dongeng Anak Anak Sebelum Tidur Beranda Daftar Isi Hubungi Kami Tentang Kami Dongeng Dunia Fabel Cerita Anak Legenda Cerita Rakyat Nusantara Cerita Rakyat dari Sulawesi Tenggara Ksatria Dan Burung Garuda 18 Maret 2016 dongeng cerita rakyat Apakah kalian tahu burung Garuda yang menjadi lambang negara kita? Konon burung Garuda sangat besar dan kuat. Cerita Rakyat dari… Lanjutkan Membaca → Cerita Rakyat Sulawesi Tenggara Kisah La Sirimbone 17 Juli 2015 dongeng cerita rakyat Tinggalkan komentar Kebaikan hati La Sirimbone pada Cerita Rakyat Sulawesi Tenggara membawa dia kepada keberuntungan. Orang yang baik hati akan disayangi oleh… Lanjutkan Membaca → Kebijakan Privasi Hak cipta © 2023 Cerita Rakyat Nusantara Kumpulan Dongeng Anak Anak Sebelum Tidur — Tema WordPress Ascension oleh GoDaddy Indonesia kaya akan dongeng yang berhubungan dengan bidadari yang turun ke bumi. Namun, pernahkah kamu mendengar cerita rakyat Putri Satarina dan Tujuh Bidadari dari Sulawesi Tenggara? Kalau belum, langsung saja simak ulasan yang telah kami siapkan di artikel berikut!Kamu mungkin sering mendengar dongeng Indonesia yang menceritakan tentang bidadari yang turun ke bumi. Namun, pernahkah kamu mendengar cerita rakyat Sulawesi Tenggara tentang Putri Satarina dan Tujuh Bidadari?Kisahnya menceritakan tentang kebaikan seorang gadis yang nasibnya selalu sial. Karena merasa kasihan, akhirnya para batari itu pun menolong gadis bernama Putri Satarina itu dan mengangkatnya menjadi bidadari penasaran dengan kisahnya, langsung saja simak ulasan seputar cerita rakyat Putri Satarina dan Tujuh Bidadari yang telah kami siapkan di bawah ini. Selain kisahnya, kamu juga bisa mendapatkan ulasan terkait unsur intrinsik dan beberapa fakta menariknya. Selamat membaca! Sumber Wikimedia Commons Alkisah di bagian tenggara pulau Sulawesi, terdapatlah sebuah negeri yang dihuni oleh orang-orang suku Wolio. Negeri tersebut berbentuk pedukuhan atau desa yang dikenal juga dengan nama Desa Keli. Desa tersebut dilalui sebuah aliran sungai bernama Lakambolo. Setiap kali musim timur tiba, air sungai tersebut akan meluap dan menenggelamkan seisi kampung. Hal itu terpaksa membuat warga yang tinggal di Desa Keli harus mengungsi dari ancaman banjir ke daerah yang lebih aman setiap kali musim timur tiba. Di desa tersebut, tinggal seorang saudagar kaya raya bernama La Ode Pakainke Ke. Ia memiliki seorang istri yang rupawan dan cantik jelita bernama Wa Ode Sanggula. Kehidupan sang saudagar itu benar-benar dilimpahi kebahagiaan. Usaha dagang yang mereka jalankan selalu mendapatkan keuntungan dan laba yang banyak. Ditambah lagi, mereka tengah menantikan kelahiran anak pertama mereka yang telah dinanti-nanti. Pada satu senja, La Ode Pakainke Ke dan istrinya, Wa Ode Sanggula tengah duduk bercengkerama di teras depan rumahnya yang besar dan megah. “Istriku, minggu depan aku harus berangkat ke Pulau Siumpu untuk membawa bawang dagangan. Sudah satu bulan aku beristirahat di rumah, kini saatnya aku harus berdagang lagi,” ucap La Ode Pakainke Ke dengan bersedih. Wa Ode Sanggula tak menjawab ucapan suaminya itu. Ia hanya menundukkan kepala seraya tangannya sesekali mengusap perutnya yang membuncit. Terkadang, ada hela napas yang berat di antara setiap tarikan napasnya. “Janganlah engkau bersedih, istriku! Perjalananku kali ini tak akan lama. Paling lama akan memakan waktu dua minggu saja. Nantinya setelah urusanku selesai, aku berjanji akan langsung pulang,” lanjut La Ode Pakainke Ke berusaha meyakinkan sang istri. Meskipun begitu, tetap saja Wa Ode Sanggula terdiam menunduk penuh kesedihan. Ia masih saja merasa berat melepaskan kepergian suaminya. Kekhawatiran Wa Ode Sanggula “Kumohon bicaralah padaku, istriku. Jangan hanya diam saja. Apa gerangan yang membuat hatimu merasa berat? Jangan membuatku merasa cemas karena sikapmu itu!” ujar La Ode Pakainke Ke khawatir. “Maafkan aku, suamiku. Bukan maksudku membuatmu khawatir. Aku hanya bersedih memikirkan rencana keberangkatanmu minggu depan, padahal tak lama lagi aku akan melahirkan bayi kita. Aku takut kalau kau tak bisa berada di sisiku ketika melahirkan nantinya. Siapa nantinya yang akan menolongku?” ucap Wa Ode Sanggula seraya menatap suaminya dengan mata berkaca-kaca. Mendengar hal itu, La Ode Pakainke Ke menjadi terdiam dan bimbang. Tentu saja ia tak ingin meninggalkan istrinya sendiri ketika tengah melahirkan, tapi bagaimanapun juga ia harus kembali berdagang di Pulau Siumpu. “Berapa usia kandunganmu sekarang, istriku?” tanya La Ode Pakainke Ke. “Delapan bulan dua belas hari, suamiku,” jawab sang istri. La Ode Pakainke Ke kemudian terdiam dan berpikir keras. “Kalau begitu, aku masih bisa memiliki waktu untuk berdagang seraya menunggu kelahiran bayi kita. Menurut perhitunganku, bayi kita seditaknya akan lahir tiga puluh delapan hari lagi. Nantinya sebelum kau melahirkan, aku pasti sudah kembali pulang lagi,” ucapnya kemudian. “Jadi kau akan tetap berangkat berdagang, suamiku?” “Benar, istriku. Aku sudah terlanjut berjanji pada saudagar di Biwinapa untuk membawakan barang dagangan yang sudah dia pesan. Aku harus memenuhi janji itu agar di kemudian hari perniagakanku tidak mengalami kesulitan karena kehilangan kepercayaan dari orang lain. Kuharap kau bisa memaklumiku, istriku. Lagi pula apa yang aku lakukan ini juga demi anak kita kelak!” ucap La Ode Pakainke Ke berusaha membesarkan hati istrinya. Baca juga Asal Mula Gunung Mekongga di Sulawesi Tenggara & Ulasan Menariknya, Tempat Terbunuhnya Burung Garuda Raksasa Keberangkatan La Ode Pakainke Ke Setelah terdiam beberapa saat, Wa Ode Sanggula lalu memandang suaminya dan berucap, “Baiklah, suamiku. Aku akan melepaskan kepergianmu dengan ikhlas. Aku juga akan selalu mendoakan agar kau berada dalam lindunagan Yang Maha Kuasa.” “Terima kasih, istriku. Sekarang aku lebih lega dan tak lagi merasa berat untuk berangkat minggu depan,” ucap La Ode Pakainke Ke seraya memeluk istrinya penuh cinta. Satu minggu kemudian, seperti rencananya semula, La Ode Pakainke Ke berangkat bersama awak kapalnya menumpangi kapal besar miliknya. Mereka berlayar menuju Pulau Siumpu dengan membawa barang dagangan berupa kain sutera dan kerajinan tangan hasil penduduk Desa Keli. Setelah beberapa minggu, La Ode Pakainke Ke masih saja belum pulang ke rumah. Hal itu tentu saja membuat Wa Ode Sanggula khawtir. Padahal waktu kelahirannya sudah di depan mata. Suatu hari, ketika matahari akan terbenam, Wa Ode Sanggula masih asyik duduk di serambi depan rumahnya seraya mengusap perutnya yang semakin buncit. Sesekali, pandangan matanya diarahkan ke belokan di ujung jalan bagian selatan rumah mereka. Tak lama kemudian, pengasuhnya yang benama Wa Kalambe keluar dari dalam rumah dan mendekatinya perlahan. “Ini sudah nyaris maghrib, Abe. Marilah kita masuk ke dalam rumah. Orang hamil sepertimu seharusnya tak boleh berlama-lama duduk di luar rumah. Namanya pamali,” ucap Wa Kalambe. “Tapi, aku masih menunggu kedatangan suamiku sore ini, Wa Mbe,” ucap Wa Ode Sanggula bersedih. “Aku tahu, Abe. Tapi hari kini sudah semakin gelap. Mungkin saja Nak Ode belum pulang sore ini. Sebaiknya kau masuk dahulu dan menunggu besok lagi untuk menantikan kepulangannya,” ujar Wa Kalambe kemudian. La Ode Pakainke Ke yang Tak Segera Pulang “Namun ini sudah lewat satu minggu dari waktu yang sudah dijanjikan, Wa Mbe. Dan suamiku masih belum pulang juga. Aku jadi merasa sangat cemas karena memikirkannya. Kira-kira apakah gerangan penyebab keterlambatannya?” Wa Ode Sanggula masih saja belum bergerak dari tempat duduknya. “Mungkin saja urusan Nak Ode tak bisa diselesaikan dengan cepat sehingga kepulangannya terpaksa harus ditunda. Jangan terlalu berpikiran buruk. Lebih baik kita masuk ke dalam!” ucap Wa Kalambe terus membujuk. Meskipun awalnya Wa Ode Sanggula berkeras tak ingin masuk ke dalam rumah sampai suaminya pulang, tapi pada akhirnya ia pun berdiri dari tempat duduknya. Seraya memegang pinggulnya yang pegal akibat duduk terlalu lama, ia pun berjalan masuk ke dalam rumah dengan didampingi oleh Wa Kalambe. Ketika malam semakin larut, suasana rumah pun menjadi semakin sunyi. Lampu rumah tersebut sudah dimatikan semua oleh Wa Kalambe, kecuali lampu dari kamar Wa Ode Sanggula. Hal itu menunjukkan bahwa penghuni kamar itu masih terjaga. Dan benar saja, di atas pembaringan empuk yang dilapisi kain beludru berwarna merah, Wa Ode Sanggula masih saja belum tidur. Ia hanya mengubah-ubah posisi tidur saja seperti tengah merisaukan sesuatu. Ada banyak dugaan yang berkecamuk di dalam pikirannya. “Suamiku, apa yang sebenarnya tengah terjadi padamu? Kenapa kau masih belum pulang juga hingga sekarang?” bisiknya nyaris menangis. “Tuhan, kumohon lindungilah suamiku. Berikanlah ia kekuatan agar bisa kembali dengan selamat,” ucapnya berdoa kepada Yang Maha Kuasa. Setelah menangis dan khawatir semalaman, Wa Ode Sanggula baru bisa terlelap ketika menjelang dini hari. Baca juga Dongeng La Sirimbone dari Sulawesi Tenggara dan Ulasannya, Lika Liku Kehidupan Anak yang Ditinggalkan Keluarga Pecah Ketuban Wa Ode Sanggula Ketika hari sudah menjelang siang, Wa Kalambe mengetuk pintu kamar yang membangunkan Wa Ode Sanggula dari mimpinya. “Abe Sanggula! Hari sudah siang, bangunlah!” ucap Wa Kalambe di antara ketukannya di pintu dengan nada khawatir, “Apakah Abe baik-baik saja?” “Aku tidak apa-apa, Wa Mbe. Masuklah, aku sudah bangun,” jawab Wa Ode Sanggula masih dengan nada lemas. Setelah Wa Kalambe masuk, wajahnya semakin terlihat khawatir ketika melihat Wa Ode Sanggula masih terbaring di tempat tidur. “Apakah kamu sakit, Abe?” tanya Wa Kalambe cemas seraya berjalan mendekati pembaringan. Ia pun langsung memegang kening Wa Ode Sanggula untuk mengecek kondisinya. “Aku hanya merasa sedikit pusing, Wa Mbe. Semalam aku tidak bisa tidur sama sekali. Aku masih memikirkan kepergian suamiku yang belum ada kabarnya hingga sekarang.” “Sekarang Abe tak perlu lagi merasa cemas. Tadi pagi kusir La Ponta-Ponta datang untuk memberi kabar kalau kapal Nak Ode sudah berlabuh. Sebentar lagi suamimu pasti akan pulang ke rumah.” Mendengar hal itu, Wa Ode Sanggula pun langsung terlihat sumringah dan bersemangat. Tanpa menunggu lama ia langsung bangun dari pembaringannya. Namun, karena ia terlalu tergesa-gesa, tanpa sadar kaki kirinya tersangkut ujung kain hingga ia terguling dari tempat tidur. Wa Kalambe yang tak menduga kejadian itu pun langsung panik. Kejadian itu langsung membuat air ketuban Wa Ode Sanggula pecah. Pertanda bahwa tak lama lagi ia akan melahirkan bayinya. Hal itu tentu saja membuat Wa Kalambe menjadi semakin panik. Kelahiran Putri Satarina Di waktu yang bersamaan, terdengar suara salam dari depan pintu yang menunjukkan bahwa La Ode Pakainke Ke telah pulang ke rumah. Ketika melihat kondisi istrinya yang kesakitan, pria tu langsung ikut panik dan menanyakan apa yang bisa ia bantu. Tanpa menunggu lama, Wa Kalambe menyarankan La Ode Pakainke Ke untuk bergegas keluar kamar dan menyuruh pengurus kuda untuk menjemput dukun beranak. Untungnya, dukun beranak itu bisa dipanggil dengan cepat dan Wa Ode Sanggula bisa melahirkan bayi perempuannya dengan selamat. Bayi perempuan yang berparas cantik jelita dan berkulit putih bagai salju nan elok itu pun diberi nama Putri Satarina yang berarti anak perempuan yang berwajah bagai purnama. Kehadiran sang putri tentunya membawa kebahagiaan bagi kedua orang tuanya. Apalagi usaha perniagaan La Ode Pakainke Ke menjadi sembakin lancar. Namun sayang, ketika usia sang putri baru tiga belas bulan, sang ibunda terkena penyakit yang sangat parah. Semua tabib yang telah didatangkan dari sepenjuru negeri tetap saja tak bisa menyembuhkan penyakitnya. Hari demi hari penyakitnya menjadi semakin parah hingga membuat La Ode Pakainke Ke khawatir. Wa Ode Sanggula yang menyadari bahwa tak ada seorang pun tabib yang bisa menyembuhkannya kemudian berpesan pada suaminya untuk selalu menjaga dan merawat buah hatinya dengan baik. Tak lama setelah berpesan, Wa Ode Sanggula menghembuskan napas terakhirnya. Baca juga Kisah Terbentuknya Pulau Nusa dari Kalimantan Tengah dan Ulasannya, Kecerobohan Manusia yang Berakhir Tragis La Ode Pakainke Ke Menikah Lagi Tiga tahun setelah kepergian Wa Ode Sanggula, Putri Satarina tumbuh menjadi anak yang jelita. Bahkan meskipun usianya baru empat tahun, kecantikannya sudah bisa terlihat dengan jelas. Kulitnya terlihat putih bagai salju dan matanya bersinar bagaikan bintang kejora. Bahkan, hidung dan bibirnya tampak sempurna yang semakin menambah keayuan wajahnya. Suatu hari, La Ode Pakainke Ke berpikiran untuk kembali menikah. Karena bagaimanapun juga, ia merasa tak sanggup mengurus buah hatinya sendirian. Apalagi, Wa Kalambe yang pernah menjadi inang pengasuh sang gadis telah berpulang juga ke Rahmatullah tak lama setelah kepergian Wa Ode Sanggula. Belum lagi, La Ode Pakainke Ke harus sering bepergian untuk melakukan usaha perniagaannya. Tak mungkin ia membawa Putri Satarina berlayar bersamanya atau bahkan meninggalkannya sendirian di rumah. Oleh karena itu, setelah berpikir matang-matang, akhirnya La Ode Pakainke Ke memutuskan untuk menikah seorang wanita biasa bernama Wa Muri. Dibandingkan istrinya terdahulu, Wa Muri tidaklah berparas cantik. Namun, hal itu bukanlah sebuah masalah bagi La Ode Pakainke Ke. Karena yang terpenting baginya adalah ada orang yang bisa mengurus dan merawat putrinya. Sebelum mereka resmi menikah, La Ode Pakainke Ke meminta janji Wa Muri untuk menganggap Putri Satarina seperti anak kandungnya sendiri dan memperlakukannya dengan baik. Wa Muri pun menyanggupi permintaan itu. Sehingga La Ode Pakainke Ke akhirnya tak lagi ragu untuk memilihnya. Kebaikan Palsu Wa Muri Setelah menikah, Wa Muri tinggal bersama di rumah suami dan anak tirinya. Awalnya, sesuai janjinya pada La Ode Pakainke Ke, Wa Muri memperlakukan Putri Satarina seperti anak kandungnya sendiri. Bahkan, La Ode Pakainke Ke sampai merasa beruntung dan bersyukur karena memiliki istri yang penyayang dan adil. La Ode Pakainke Ke tak lagi merasa ragu dan cemas jika harus meninggalkan putrinya untuk berdagang. Ia bisa yakin meninggalkan putrinya di bawah asuhan istri keduanya selama berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan. Ia sangat yakin putrinya akan selalu bahagia meskipun hanya ditemani ibu tiri yang menyayanginya. Namun, siapa sangka kalau rupanya kebaikan hati dan kasih sayang Wa Muri itu semua hanyalah kebohongan semata. Di balik sikap dan senyum manis yang ia perlihatkan itu, rupanya ada rencana licik yang hanya ia ketahui sendiri. Tak lama setelah pernikahan itu, Wa Muri hamil kemudian melahirkan seorang bayi perempuan yang diberi nama Katarina. Kehadiran Katarina itu semakin memunculkan sikap buruk Wa Muri, khususnya ketika La Ode Pakainke Ke tengah tidak berada di rumah. Ia sering kali membeda-bedakan kedua anaknya. Bahkan, ia mulai tak lagi mempedulikan Putri Satarina dan hanya mengurus Katarina saja. Baca juga Dongeng Ikan Mas Ajaib dan Pohon Emas Beserta Ulasannya, Pengingat Agar Selalu Tulus Melakukan Segala Hal Perubahan Perilaku Wa Muri Pada Putrinya Seiring dengan berjalannya waktu, perbedaan Putri Satarina dan Katarina semakin terlihat jelas. Tak hanya secara fisik saja, tapi perangai Katarina pun jauh lebih buruk dibandingkan Putri Satarina. Karena terlalu dimanjakan, Katarina tumbuh menjadi gadis yang egois, seenaknya sendiri, dan berkemauan keras. Ia tak pernah mau mengalah dan tak ada yang bisa menentang kemauannya. Sementara Putri Satarina tumbuh menjadi gadis yang sabar dan selalu mengalah. Kecantikan dan kebaikan hati Putri Satarina menjadikannya banyak disukai oleh orang-orang di sekelilingnya, khusunya kaum laki-laki. Dan hal itu menjadikan sang ibu tiri dan adiknya menjadi semakin membenci Putri Satarina. Bahkan, kini gadis berhati bersih itu sampai diperlakukan seperti layaknya pembantu. Setiap hari Putri Satarina diwajibkan untuk melakukan semua pekerjaan rumah tangga. Kalau ada pekerjaan yang dianggap kurang beres, Wa Muri tak ragu-ragu memukul dan mencacinya. Bahkan, kalau Putri Satarina tak mendengar panggilan sang ibu tiri, Wa Muri juga akan langsung membentak dan menjewer telinga sang gadis tanpa ampun. Hal itu pada akhirnya membuat Putri Satarina sedih. Sering kali, ia hanya bisa menundukkan kepala seraya berkaca-kaca. Apalagi jika Wa Muri sampai mengucapkan kalau Putri Satarina adalah pembawa sial dan membuat ibundanya meninggal dunia. Putri Satarina sampai bertanya-tanya apakah benar ia yang membawa sial bagi keluarganya. Apakah benar ia yang menyebabkan ibundanya meninggal dunia? Karena seingatnya, dahulu inang pengasuhnya menceritakan kalau ibunya meninggal dunia karena terserang penyakit menular yang ganas dan tak ada seorang tabib pun yang bisa menyembuhkan. Sayangnya, saat itu Le Ode Pakainke Ke tengah berlayar jauh. Sehingga hal itu membuat ibu dan adik tirinya bisa melakukan perbuatan semena-mena kepada dirinya. Meskipun begitu, Putri Satarina berusaha untuk tetap berserah dan berdoa pada Yang Maha Kuasa agar selalu diberikan kekuatan. Pesta Pernikahan Putri Satarina Ketika Putri Satarina berusia 17 tahun, gadis itu bagaikan kembang desa yang selalu memancarkan kecantikan dan keharuman dari dalam dirinya. Banyak pria yang datang dan hendak meminangnya untuk dijadikan istri. Di antara para pemuda itu, hanya ada satu yang menarik perhatian sang putri, yakni pemuda dari negeri seberang. Sang pemuda berparas tampan dan memiliki tutur kata dan perangai yang mengesankan banyak orang. Pemuda bernama La Ode Badawi Garangani itu merupakan anak dari saudagar kaya teman ayahnya. Akhirnya, setelah melalui pembicaraan dari kedua belah pihal, Putri Satarina pun menikah dengan La Ode Badawi Garangani. Pesta pernikahan itu diadakan dengan sangat meriah. Putri Satarina bagaikan Putri Bulan yang dipersunting oleh Pangeran Matahari. Semua orang yang menyaksikan pernikahan itu turut berbahagia dan terharu, kecuali Wa Muri dan Katarina. Mereka berdua justru merasa iri dengan kebahagiaan yang dirasakan oleh Putri Satarina. Berbagai rencana buruk langsung muncul di kepala sang ibu tiri. Ia bertekad untuk menyingkirkan sang putri entah bagaimana caranya. Karena ia menganggap kalau Putri Satarina adalah penghalang kebahagiaan putri kandungnya. Tak berapa lama setelah pesta pernikahan itu berakhir, Putri Satarina mengandung dan sembilan bulan kemudian ia melahirkan seorang bayi laki-laki yang tampan. Bayi yang mirip dengan ayahnya itu kemudian diberi nama La Ode Pasanifu, di mana Pasanifu memiliki arti pemersatu. Harapannya, buah hati mereka bisa menyatukan hati kedua orang tuanya dan orang-orang di sekitar mereka. Baca juga Kisah tentang Si Kelingking Asal Jambi dan Ulasan Lengkapnya, Pelajaran untuk Tidak Meremehkan Penampilan Fisik Seseorang Kepergian Putri Satarina Pada suatu hari, La Ode Badawi Garangani harus pergi ke kampung seberang karena mendapat kabar bahwa ayah kandungnya menderita sakit. Karena saat itu La Ode Pasanifu masih terlalu kecil, Putri Satarina tak bisa ikut suaminya dan harus tinggal di rumah untuk mengurus buah hatinya. Ketika La Ode Badawi Garangani berangkat, Wa Muri dan Katarina merasa itu adalah kesempatan yang sempurna untuk melenyapkan Putri Satarina dan menggantikan posisinya. Tanpa menunggu lama Katarina berpura-pura menawarkan diri untuk menjaga La Ode Pasanifu, sementara Wa Muri mengajak Putri Satarina ke sungai. Alasannya mengajak mandi untuk membuang nasib sial setelah tujuh hari kelahiran bayinya. Meskipun awalnya sang putri merasa ragu, tapi karena Wa Muri terus mendesaknya, ia pun terpaksa mengikuti perkataan ibu tirinya itu. Namun, belum sampai ke sungai, mendadak hujan turun dengan derasnya. Hal itu tentunya membuat Putri Satarina semakin merasa ragu, tapi Wa Muri terus memaksanya untuk mempercepat langkahnya. Ketika mereka sampai di tepi sungai, hujan turun semakin deras. Tapi tetap saja Wa Muri memaksa agar Putri Satarina masuk ke dalam air. Tak lama ketika sang putri baru berendam, mendadak banjir besar datang. Meskipun sang putri sudah berusaha berenang secepat mungkin untuk naik ke darat. Namun, dengan sigap sang ibu tiri kembali mendorongnya masuk ke dalm sungai. Naas, sang putri pada akhirnya terbawa arus sungai yang deras. Setelah yakin kalau Putri Satarina tak akan selamat, Wa Muri yang kejam bergegas pulang ke rumah dan menerobos hujan. Sampai di rumah, ia menyuruh Katarina menutup semua jendela kamar sehingga suasana di dalam kamar menjadi gelap gulita. Wa Muri pun menyuruh putri kandungnya untuk menyamar sebagai Putri Satarina dan tak diperbolehkan membuka jendela atau keluar kamar. Bahkan, mereka sampai membohongi La Ode Badawi Garangani dengan berkata bahwa istrinya terkena penyakit mata sehingga tak boleh keluar kamar atau melihat matahari. Tujuh Bidadari Penyelamat Sementara itu, Putri Satarina yang hanyut terbawa banjir rupanya terdampar di pinggir Sungai Lakambolo di daerah Si Keli. Tak jauh dari tempat itu, terdapat sebuah lubuk berair jernih yang sering digunakan pada bidadari untuk mandi dan bercengkerama bersama. Begitu pula saat itu, seperti biasanya para bidadari mandi, bermain, dan bercanda di dalam air. Mendadak, salah satu bidadari yang mengenakan pakaian berwarna merah muda menemukan sesosok tubuh tergeletak tak jauh dari pohon di tepi sungai. Ia pun langsung memanggil keenam temannya. Melihat kecantikan Putri Satarina, mereka pun merasa kasihan dan memutuskan untuk membawa gadis itu ke kahyangan agar bisa dihidupkan kembali. Namun, rupanya ketika Bunda Ratu, ibunda dari para bidadari mengetahui hal itu, beliau langsung marah. Karena keberadaan seorang manusia bisa mengotori negeri kahyangan, apalagi kalau ternyata mereka tak bisa menyelamatkan nyawa Putri Satarina. Seandainya mereka berhasil menyelamatkan sang putri sekalipun, pada akhirnya Putri Satarina tak akan bisa kemali ke bumi dan harus menjadi penghuni kahyangan selamanya. Namun, para bidadari itu merasa kasihan karena mereka yakin manusia yang diselamatkan itu adalah orang yang baik dan suci dari segala perbuatan buruk. Melihat ketulusan para bidadari yang ingin menyelamatkan manusia itu, Bunda Ratu pun meminta mereka untuk mengumpulkan kembang tujuh rupa, selendang tujung warna, dan air suci yang diisikan ke dalam tujuh kendi kahyangan. Semua benda itu harus disiapkan sebelum matahari terbit. Baca juga Legenda Asal Usul Danau Malawen dan Ulasannya, Sebuah Imbauan untuk Mendengarkan Nasihat Kedua Orang Tua Putri Satarina Menjadi Bidadari Tanpa menunggu lama, para bidadari itu menyiapkan semua perlengkapan yang dibutuhkan. Dengan dipimpin Bunda Ratu, mereka pun menutupi tubuh Putri Satarina dengan selendang tujuh warna, dengan selendang yang berwarna putih diletakkan paling atas. Sesudahnya, kembang tujuh rupa ditaburkan di atas tubuh sang putri dari ujung kepala sampai ke kaki. Kemudian Bunda Ratu mengambil tujuh kendi kecil berisi air suci dan memercikkannya di atas tubuh sang putri satu persatu. Tak lupa Bunda Ratu juga terus membacakan mantra, dan mengayunkan tongkatnya di atas Putri Satarina yang kemudian mengeluarkan sinar kuning. Ajaibnya, setelah sinar kuning tersebut masuk ke dalam kepala sang putri yang masih tertutup selendang. Setelah cahaya itu menghilang, Seluruh kain dan kembang tujuh rupa yang menutupi tubuh Putri Satarina pun raib juga. Tak lama kemudian, sang putri terbatuk dan membuka matanya secara perlahan. Betapa bingungnya Putri Satarina yang terbangun dan kelilingi para bidadari dan Bunda Ratu yang cantik jelita. Setelah memperkenalkan diri dan menceritakan tentang hidupnya, Putri Satarina diizinkan untuk tinggal di kahyangan hingga tubuhnya kembali sembuh. Sayangnya, setelah tubuhnya sembuh sekalipun, ia tetap tak bisa kembali lagi ke bumi. Apalagi, tak lama kemudian Putri Satarina memiliki sepasang sayap seperti halnya bidadari lainnya. Sehingga sejak saat itu, para bidadari mulai sering mengajak Putri Satarina untuk bermain di balik awan hingga malam tiba. Mimpi Tangisan Bayi Pada suatu malam, setelah kembali dari balik awan, Putri Satarina langsung masuk ke dalam biliknya dan berbaring tanpa sempat berganti pakaian. Entah kenapa saat itu ia merasa sangat lelah hingga langsung terlelap begitu saja. Di dalam tidurnya, ia mendengar suara tangis bayi yang tak berhenti-henti. Bahkan, rasanya seolah tangisan itu menjadi semakin nyaring dan memanggil dirinya. Ketika terbangun, Putri Satarina mendapati dirinya berada di sebuah taman yang indah dan penuh bunga tapi terasa asing. Saat tengah menikmati keindahan bunga warna-warni yang ada di sekitarnya, mendadak ia kembali mendengar suara tangisan bayi yang nyaring. Namun, ia tak bisa mencari sumber suara tangisan itu, karena ia merasa seolah suara itu seakan berasal dari seluruh penjuru. Setelah menghentikan langkah kakinya dan berusaha untuk fokus, ia baru menyadari kalau suara itu berasal dari tempat yang sangat jauh. Putri Satarina pun langsung bertanya-tanya kenapa suaranya terdengar begitu dekat. Ia pun kemudian berusaha mengikuti suara hatinya dan melangkah mendekati sumber suara itu. Namun, belum sampai ia mendekati suara itu, Putri Satarina merasakan ada yang memanggil-manggil namanya seraya menepuk pipinya. Ia pun kemudian membuka matanya dan mendapati tujuh orang bidadari telah berada di sampingnya. Ketika ditanya apa yang terjadi padanya, Putri Satarina justru menangis dan berusaha mencari bayi yang tengah menangis. Mendengar jawaban tersebut, tujuh bidadari hanya bisa saling memandang dan menenangkan sang putri karena di kahyangan tidak ada bayi satu pun. Akhirnya, Putri Satarina berhasil menenangkan diri dan berusaha kembali tidur. Baca juga Kisah Abu Nawas tentang Pesan Bagi Para Hakim dan Ulasan Menariknya, Pelajaran untuk Selalu Profesional dalam Bekerja Pulang ke Bumi Namun, sejak peristiwa mimpi tangisan bayi itu, Putri Satarina tak lagi terlihat ceria seperti sebelumnya. Ia bahkan lebih sering merenung sendirian jauh dari para bidadari yang lain. Karena merasa khawatir, para bidadari pun menanyakan apa yang membuat sang putri termenung dan bersedih. Putri Satarina kemudian meminta para bidadari untuk menolongnya kembali ke bumi. Ia menyatakan bahwa belakangan ini ia merasa rindu pada bumi dan ingin kembali meskipun hanya sesaat. Ia juga berjanji bahwa sesudahnya ia akan kembali lagi ke kahyangan. Berkat janji itu, para bidadari pun bersedia membantunya ketika malam bulan purnama tiba. Dan benar saja, beberapa malam kemudian ketika langit malam dihiasi bulan purnama, mereka turun ke bumi dan mandi di Sungai Lakambolo. Di sana, mereka mandi, bermain, dan bercanda riang bersama. Setelah selesai mandi, Putri Satarina meminta izin untuk menjenguk dan menyusui anaknya sebentar. Para bidadari yang tidak mengetahui kalau sang putri memiliki seorang anak pun terkejut. Putri Satarina pun akhirnya menceritakan tentang buah hatinya yang terpaksa harus ia tinggalkan karena pergi ke kahyangan. Karena merasa iba, pada bidadari pun mengizinkan Putri Satarina untuk menjenguk suami dan anaknya. Namun, mereka juga mengingatkan sang putri bahwa ia kini telah menjadi penghuni abadi kahyangan. Oleh karena itu, ia tak bisa berlama-lama berada di bumi dan harus kembali ke kahyangan sebelum matahari terbit. Putri Satarina pun berjanji. Bertemu dan Menyusui Buah Hati Tercinta Namun, siapa sangka ketika akhirnya kembali bertemu dengan buah hatinya, Putri Satarina terlupa akan janjinya pada para bidadari. Ia terlalu asyik menggendong dan menciumi buah hatinya dengan penuh kerinduan. Ia juga menyusui anaknya dan terus mendekapnya seolah tak ingin berpisah lagi. Para bidadari yang menanti di tepi sungai menjelang dini hari pun mulai merasa gelisah. Mereka akhirnya setuju untuk menjemput sang putri agar bisa segera kembali ke kahyangan. Sesampainya mereka di rumah Putri Satarina, sang putri masih saja menyusui buah hatinya. Karena mereka tak berani masuk ke dalam rumah, para bidadari itu pun menyanyi untuk memanggil Putri Satarina. Ketika mendengar nyanyian itu, sang putri tersadar bahwa waktunya sudah nyaris habis. Untungnya mereka masih tepat waktu untuk kembali ke kahyangan sebelum matahari terbit. Para bidadari pun menjanjikan pada sang putri bahwa pada bulan purnama selanjutnya, mereka akan kembali turun ke bumi untuk mandi. Dengan begitu, setelah mandi Putri Satarina bisa kembali menyusui buah hatinya. Betapa bahagianya sang putri ketika mendengar hal itu. Ia pun akhirnya setuju dan tak sabar menanti kedatangan bulan purnama selanjutnya. Di sisi lain, siapa sangka rupanya nyanyian para bidadari itu didengarkan oleh sepasang suami istri tetangga La Ode Badawi Garangani. Ketika matahari sudah tinggi, mereka pun menemui tetangganya itu dan menceritakan tentang suara nyanyian yang mereka dengarkan semalam. Mendengar cerita itu, La Ode Badawi Garangani mulai berniat menyelidikinya. Kembali Berkumpul Bersama Keluarga Pada bulan purnama berikutnya, seperti biasa para bidadari dan Putri Satarina turun ke bumi dan mandi Sungai Lakambolo. Dan seperti sebelumnya, setelah mandi Puri Satarina kembali pulang ke rumahnya untuk menyusui buah hatinya. Sama seperti sebelumnya, para bidadari pun harus bernyanyi untuk mengingatkan sang putri untuk kembali ke kahyangan. Saat itu, La Ode Badawi Garangani yang tengah bersembunyi pun langsung keluar dari persembunyiannya dan memeluk istri yang ia rindukan. Bahkan, ia langsung memeluk istrinya itu dan mematangkan sayap di punggungnya. Betapa terkejutnya Putri Satarina mendapatkan pelukan itu. Meskipun begitu, ia langsung balik memeluk dan menangis di bahu suaminya saling melepas rindu. La Ode Badawi Garangani meminta istrinya untuk menceritakan apa yang sebenarnya terjadi selama ini. Dan sesuai permintaan, ia pun menceritakan segalanya, termasuk tentang hidupnya selama di kahyangan. Di tengah cerita itu, para bidadari kembali memanggil Putri Satarina dan memintanya kembali ke kahyangan. Sang putri pun kemudian memohon izin untuk bisa kembali ke kahyangan menyusul tujuh bidadari. Namun, karena sayapnya sudah tak ada, ia tak bisa kembali terbang. Putri Satarina pun menjadi bingung mengapa ia tak bisa terbang kembali di kahyangan. Suaminya kemudian menenangkannya dan memintanya untuk tetap tinggal di rumah. Bahkan, ia sampai menyeret Katarina dan Wa Muri keluar, memasukkan mereka ke lubang kayu dan menggulingkan kayu itu ke jurang sangat dalam. Tak ada seorang pun yang bisa menolong mereka dan berakhirlah hidup ibu dan anak itu. Sementara itu, Putri Satarina akhirnya bisa kembali berkumpul dengan suami dan anaknya dengan penuh kasih sayang. Hingga akhir hidupnya, keluarga itu tak pernah lagi merasakan kesusahan atau penderitaan. Konon, anak cucu dari sang putri berkembang semakin banyak dan menjadi penduduk asli Pulau Buton. Baca juga Cerita Rakyat Ular Kepala Tujuh dari Bengkulu & Ulasan Menariknya, Bukti Kerendahan Hati dan Keberanian Bisa Mengalahkan Kekejian Unsur Intrinsik Cerita Rakyat Putri Satarina dan Tujuh Bidadari Sumber Putri Satarina dan Tujuh Bidadari – Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Jakarta Setelah membaca cerita rakyat Putri Satarina dan Tujuh Bidadari yang berasal dari Buton Utara, Sulawesi Tenggara di atas, kini kamu bisa mengetahui sedikit ulasan seputar unsur intrinsiknya. Di antaranya adalah 1. Tema Inti kisah atau tema dari cerita rakyat Putri Satarina dan Tujuh Bidadari ini adalah tentang ketulusan dan kebaikan hati akan memberikan kebaikan dalam hidupmu. Contohnya adalah seperti yang dilakukan oleh Putri Satarina. Karena kebaikan hatinya, akhirnya ia pun mendapatkan bantuan dari para bidadari untuk kembali dihidupkan. 2. Tokoh dan Perwatakan Ada beberapa tokoh utama dalam cerita rakyat Putri Satarina dan Tujuh Bidadari ini. Di antaranya adalah La Ode Pakainke Ke, Wa Ode Sanggula, Wa Kalambe, Putri Satarina, Wa Muri, Katarina, La Ode Badawi Garangani, Tujuh Bidadari, dan Bunda Ratu. La Ode Pakainke Ke merupakan seorang ayah dan suami yang bertanggung jawab dan pekerja keras. Ia akan melakukan apa pun dan pergi jauh demi kemakmuran keluarganya. Ia juga sangat menyayangi keluarganya dan rela melakukan apa pun demi istri tercinta dan buah hatinya. Sementara Wa Ode Sanggula adalah wanita rupawan yang baik hatinya dan sangat menyayangi keluarganya. Karena begitu menyayangi suaminya, ia bahkan sampai rela menunggu kepulangan sang suami dari berlayar hingga langit gelap. Wa Kalambe merupakan inang pengasuh La Ode Pakainke Ke dan Wa Ode Sanggula yang tulus menjaga majikannya. Ia juga begitu menyayangi putri kedua majikannya itu dan turut serta mendidik bahkan setelah kematian Wa Ode Sanggula. Sayang, umurnya sendiri juga tak lama. Putri Satarina adalah gadis cantik yang memiliki sifat tulus, baik hati, sabar, dan selalu mengalah pada adiknya. Bahkan setelah mengetahui kalau ia dimanfaatkan oleh adik dan ibu tirinya sekalipun, tetap saja fokus utamanya adalah putranya sendiri, bukan balas dendam. Wa Muri adalah ibu tiri Putri Satarina yang memiliki sifat culas dan licik. Ia sering berpura-pura baik pada semua orang kecuali anak tirinya sendiri. Bahkan, ia sampai berpikiran untuk membunuh anak tirinya agar anak kandungnya bisa menjadi istri La Ode Badawi Garangani. Katarina merupakan putri dari Wa Muri dan La Ode Pakainke Ke yang memiliki sifat dan paras buruk. Karena terlalu dimanjakan, ia menjadi gadis yang iri, egois, seenaknya sendiri, dan berkemauan keras. Bahkan, ia tak ragu memanfaatkan kakaknya sendiri. La Ode Badawi Garangani adalah suami yang bertanggung jawab dan sangat menyayangi istri juga anaknya. Ia juga langsung bergerak cepat ketika mendapat kabar dari tetangganya tentang istrinya. Demi istrinya itu, ia rela melakukan apa pun, termasuk menyingkirkan ibu mertua dan adik iparnya yang licik sekalipun. Tujuh Bidadari dan Bunda Ratu adalah makhluk kahyangan yang baik hatinya. Mereka menolong dan menyelamatkan Putri Satarina dari akhir hidupnya kemudian mengangkatnya menjadi salah satu bidadari di kahyangan. 3. Latar Latar lokasi yang banyak disebutkan dalam cerita rakyat Putri Satarina dan Tujuh Bidadari ini adalah sebuah desa di Sulawesi Tenggara yang banyak dihuni orang suku Wolio, Sungai Lakambolo tempat Putri Satarina dihanyutkan oleh ibu tirinya, dan kahyangan tempat tinggal para bidadari bersama Bunda Ratu. 4. Alur Alur yang digunakan dalam cerita rakyat Putri Satarina dan Tujuh Bidadari ini adalah maju atau progresif. Kisahnya diceritakan secara runut dan berkesinambungan satu sama lain. Dimulai dari La Ode Pakainke Ke dan Wa Ode Sanggula yang tengah menanti kelahiran putrinya, Putri Satarina. Sayang, tak lama setelah melahirkan sang putri, Wa Ode Sanggula harus berpulang ke Yang Maha Esa karena penyakit. Karena merasa kasihan pada anaknya yang tak memiliki pengasuh, La Ode Pakainke Ke pun memutuskan untuk menikah dengan Wa Muri. Sayang, Wa Muri justru tak menyayangi Putri Satarina dengan baik. Bahkan, setelah memiliki putri sendiri yang bernama Katarina, Wa Muri justru tak mempedulikan anak tirinya itu lagi. Apalagi setelah Putri Satarina akhirnya menikah dengan La Ode Badawi Garangani yang rupawan, sifat iri hati Wa Muri membuatnya memutuskan untuk mengakali putri tirinya itu. Putri Satarina pun hanyut di sungai Lakambolo akibat keculasan Wa Muri. Untungnya, sang putri ditemukan dan diselamatkan oleh tujuh Bidadari yang baik hati. Namun, Putri Satarina kini harus menjadi bidadari juga dan tak bisa kembali ke bumi. Kerinduannya pada buah hatinya, La Ode Pasanifu, membuat Putri Satarina meminta diizinkan kembali ke bumi agar bisa menyusui putranya. Setelah beberapa kali menyusui putranya, Putri Satarina akhirnya kembali bertemu dengan suaminya dan tak perlu kembali lagi ke kahyangan. 5. Pesan Moral Pesan moral yang bisa didapatkan dari cerita rakyat Putri Satarina dan Tujuh Bidadari yang satu ini adalah untuk selalu melakukan kebaikan bahkan meskipun orang lain berbuat jahat padamu sekalipun. Yakinlah kalau alam semesta pasti akan membalas kebaikan yang kamu lakukan dengan tulus itu. Seperti halnya Putri Satarina yang terus bersabar meskipun dijahati oleh ibu tiri dan adiknya sekalipun. Sehingga ketika akhirnya ia dihanyutkan ke sungai dan meninggal dunia, para bidadari pun berusaha untuk menolongnya. Selain unsur intrinsik, cerita rakyat Putri Satarina dan Tujuh Bidadari ini juga mengandung unsur ekstrinsik yang bisa melengkapi kisahnya. Di antaranya adalah nilai-nilai sosial, budaya, agama, dan moral yang berlaku di daerah Sulawesi Tenggara. Baca juga Dongeng Burung Tempua dan Burung Puyuh Beserta Ulasannya, Pengingat Bahwa Tiap Orang Punya Selera Berbeda Fakta Menarik tentang Cerita Rakyat Putri Satarina dan Tujuh Bidadari Sumber Wikimedia Commons Ingin tahu apa lagi yang bisa kamu dapatkan dari artikel cerita rakyat Putri Satarina dan Tujuh Bidadari yang satu ini? Di sini kamu juga bisa mendapatkan beberapa fakta menarik seputar kisahnya, yaitu 1. Kebudayaan Suku Wolio Cerita rakyat Putri Satarina dan Tujuh Bidadari ini berpusat pada sebuah wilayah di Sulawesi Tenggara yang banyak dihuni oleh Suku Wolio, bertetangga dengan Suku Tolaki. Wilayah tersebut termasuk Kota Kendari, Kabupaten Konawe, Kolaka, Bau-Bau, Pulau Buton, Muna, dan Kabaena. Oleh karena itu, tak ada salahnya jika kamu mengetahui sedikit seputar suku tersebut dan seperti apa penerapannya dalam kisah ini. Salah satunya adalah tentang pernikahan Suku Wolio yang memiliki aturan bahwa pengantin pria harus ikut tinggal di rumah pengantin perempuan. Bisa dilihat di dalam cerita bahwa La Ode Badawi Garangani pun setelah menikah akhirnya tinggal bersama keluarga istrinya. Kemudian juga terkait kewajiban pria dalam mencari nafkah, sementara perempuan hanya bertugas mengurus seluruh keperluan rumah tangga. Sama seperti La Ode Badawi Garangani dan La Ode Pakainke Ke yang rajin bekerja dan membiarkan istri mereka tinggal di rumah. Baca juga Legenda Oheo dari Sulawesi Tenggara dan Beserta Ulasannya, Kisah Pemuda yang Mencuri Selendang Bidadari Khayangan Cerita Rakyat Putri Satarina dan Tujuh Bidadari Demikianlah ulasan cerita rakyat Putri Satarina dan Tujuh Bidadari dari Sulawesi Tenggara yang telah kami rangkum. Dapatkah kamu mengambil pesan positif dari kisahnya? Semoga saja kamu bisa menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari kemudian mengajarkannya pada buah hati tersayang, ya. Kalau masih ingin mencari cerita rakyat lainnya yang tak kalah menariknya, cek saja artikel-artikel lain di PosKata. Di sini kamu bisa mendapatkan Dongeng Kancil dan Kura-Kura, Cerita Rakyat Bawi Kuwu dari Kalimantan Tengah, atau Kisah Datuk Darah Putih dari Jambi. PenulisRizki AdindaRizki Adinda, adalah seorang penulis yang lebih banyak menulis kisah fiksi daripada non fiksi. Seorang lulusan Universitas Diponegoro yang banyak menghabiskan waktunya untuk membaca, menonton film, ngebucin Draco Malfoy, atau mendengarkan Mamamoo. Sebelumnya, perempuan yang mengklaim dirinya sebagai seorang Slytherin garis keras ini pernah bekerja sebagai seorang guru Bahasa Inggris untuk anak berusia dua sampai tujuh tahun dan sangat mencintai dunia anak-anak hingga sekarang. EditorElsa DewintaElsa Dewinta adalah seorang editor di Praktis Media. Wanita yang memiliki passion di dunia content writing ini merupakan lulusan Universitas Sebelas Maret jurusan Public Relations. Baginya, menulis bukanlah bakat, seseorang bisa menjadi penulis hebat karena terbiasa dan mau belajar. 0% found this document useful 0 votes3K views7 pagesCopyright© Attribution Non-Commercial BY-NCAvailable FormatsDOCX, PDF, TXT or read online from ScribdShare this documentDid you find this document useful?0% found this document useful 0 votes3K views7 pagesCerita Rakyat Dari Sulawesi TenggaraJump to Page You are on page 1of 7 You're Reading a Free Preview Pages 4 to 6 are not shown in this preview. Reward Your CuriosityEverything you want to Anywhere. Any Commitment. Cancel anytime.

cerita rakyat dari sulawesi tenggara