Berikutpenjelasannya lebih rinci. 1. Nikmat Kecil (Foto: harianmomentum.com) Satu hal yang paling kita inginkan dan paling dicintai di dunia ini, yaitu uang, termasuk dalam nikmat kecil. Aneh rasanya bila umat Muslim banyak yang menggadaikan akidahnya dan meninggalkan kewajiban beribadah hanya demi uang, hanya demi mendapatkan nikmat kecil, dan rela menukarnya dengan kenikmatan di Surga kelak. 2. Nikat Besar (Foto: healthstatus.com) Apakah angin, air, dan panas bukan nikmat besar dari Allah? Kufurnikmat berarti mengingkari atau tidak mau mengakui nikmat yang telah Allah berikan serta tidak mengakui bahwa Allah-lah yang memberikan nikmat tersebut dan merupakan satu-satunya Sang Pemberi Nikmat. "Artinya : Mereka mengetahui nikmat Allah, kemudian mereka mengingkari dan kebanyakan mereka adalah orang-orang kafir" [An-Nahl : 83] ItulahPenjelasan dari Berikut ini adalah macam-macam bunyi pantul, kecuali? Kemudian, kami sangat menyarankan anda untuk membaca juga soal Berikut ini yang merupakan prinsip penyusunan RPP, kecuali? lengkap dengan kunci jawaban dan penjelasannya. Apabila masih ada pertanyaan lain kalian juga bisa langsung ajukan lewat kotak komentar dibawah - Kunci Jawaban Post navigation Berikutini adalah macam-macam nikmat Allah, kecuali. A. Binatang ternak B. Pasangan C. Hujan D. Bumi tempat tinggal manusia E. Zakat Jawaban: E. Zakat 36. Berikut ini adalah cara-cara bersyukur kepada Allah Swt, kecuali. A. Membaca hamdallah B. Mengerjakan salat lima waktu C. Mempercayai kebenaran rukun iman D. Belajar dan mengajar Al-Qur'an Artinya " Sesungguhnya Allah itu Karim ( Maha Dermawan),lagi mencintai sifat dermawan dan mencintai akhlak-akhlak yang mulia, dan Allah membenci perkara-perkara yang hina. (Hasan, HR: Hakim dalam Mustadrok:152) DI ANTARA BENTUK AKHLAK BURUK YAITU: 1. SOMBONG. Sombong merupakan sifat yang di benci oleh syariat, fitrah dan akal. produk jasa profesi dan profesionalisme dimulai dengan melakukan. Allah SWT memberikan kenikmatan yang bersifat tidak kekal di dunia. Ilustrasi syukur nikmat JAKARTA – Kenikamatan yang dirasakan manusia dibagi menjadi tiga macam menurut Ibnul Qayyim Al Jauzi. Ibnul Qayyim Al Jauzi dalam kitab Raudhah Al-Muhibbin menyebutkan tiga hal tersebut. Pertama, kenikmatan jasmani yang meliputi makan, minum, dan berhubungan intim suami-istri. Kenikmatan jenis ini sama dengan kenikmatan yang dirasakan hewan, namun demikian kenikmatan ini bukanlah segala-galanya, bukan pula kenikmatan yang sempurna. Sebab seandainya kenikmatan ini sempurna tentu yang paling mulia, utama, dan sempurna adalah orang yang paling banyak makan, minum, dan melakukan hubungan intim. Kesempurnaan nikmat hanya didapat apabila kenikmatan jasmani ini menopang kenikmatan abadi yang paling agung. Kedua, kenikmatan khayali meliputi kekuasaan, kemampanan, kebanggaan, dan kebesaran. Sekalipun pencari kenikmatan ini tampak lebih mulia daripada kelompok pertama, namun penderitaan dan kerusakan ayang akan dialaminya jauh lebih besar. Sebab pelakunya bertead menghadapi siapapun yang mengunggulinya. Oleh karenanya si pelaku harus memenuhi lebih banyak syarat dan tuntutan untuk mendapatkan kenikamatan ini. Dia harus merelakan kehilangan banyak kenikmatan jasmani sehingga dia merasakan penderitaan yang lebih besar karena kehilangan sebagian nikmat jasmani yang dirasakannya selama ini. Jadi, kenikamatan itu bukanlah kenikmatan sejati meskipun jiwa menyenanginya. Ketiga, kenikmatan intelektual dan rohani. Yakni yang meliputi pengetahuan dan sifat-sifat kesempurnaan. Termasuk dalam jenis kenikmatan ini adalah kemurahan hati, kedermawanan, kehormatan diri, keberanian, kesabaran, lemah lembut, dan kepribadian baik lainnya. Jika kenikmatan ini dipadukan dengan nikmat makrifat kepada Allah serta kecintaan, kepatuhan, dan penyembahan kepada-Nya, maka seseorang niscaya akan merasa bahagia di surga dunia. Kebahagiaan dan suka citanya tidak akan bisa ditandingi seluruh kenikmatan dunia lainnya. BACA JUGA Update Berita-Berita Politik Perspektif Klik di Sini Syukur adalah bagian dari tingkatan yang ditapaki para kekasih Allah subhanahu wata’ala untuk sampai pada keridhaan-Nya. Karenanya, di dalam al-Quran banyak sekali ayat menjelaskan keutamaan syukur atas nikmat Allah. Di antaranya, kata syukur disandingkan dengan ingat kepada Allah subhanahu wata’ala. Surat al-Baqarah ayat 152 menyebutkan hal ini. فَاذْكُرُوْنِيْٓ اَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْا لِيْ وَلَا تَكْفُرُوْنِ “Maka ingatlah kepada-Ku, Aku pun akan ingat kepadamu. Bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu ingkar kepada-Ku.” QS. Al-Baqarah 152 Tersebab begitu pentingnya pembahasan syukur tas nikmat Allah, akhirnya para ulama membuat pembahasan khusus tentang ini di banyak kitab mereka. Di antara ulama yang membahas bab syukur atas nikmat Allah dengan sangat sistematis adalah Imam Abu Hamid al-Ghazali rahimahullah. Dalam kitabnya yang sangat fenomenal, Ihya’ Ulumuddin 4/79-81, beliau menjelaskan bab syukur bahkan sampai 15 sub pembahasan. Ini bukti betapa serius dan urgennya pembahasan ini. Di antara pembahasan syukur dalam kitab Ihya’ Ulumuddin adalah ekspresi manusia dalam menampakkan nikmat Allah subhanahu wata’ala. Imam al-Ghazali di awal pembahasannya tentang hakikat syukur menyebutkan bahwa keadaan haal yang diekspresikan seseorang bisa mengungkapkan apakah syukurnya tersebut hakiki atau hanya sebuah kepalsuan belaka. Beliau lantas menerangkan definisi mengekspresikan syukur yang hakiki adalah sebagai berikut, الفَرَحُ بِالْمُنْعِمِ مَعَ هَيْئَةِ الْخُضُوْعِ وَالتَّوَاضُعِ “Eskpresi kebahagiaan terhadap sang pemberi nikmat dengan penuh ketundukan dan kerendahan diri.” Dari sini bisa dipahami bahwa ekspresi syukur yang benar bukanlah terhadap nikmat yang diberi akan tetapi karena siapa yang memberi. Sehingga dalam keterangan selanjutnya, masih dalam kitab Ihya’ Ulumuddin, beliau berkata, أَنْ يَكُوْنَ فَرَحُكَ بِالْمُنْعِمِ لَابِالنِّعْمَةِ وَلَابِالْإِنْعَامِ “Kebahagiaanmu atas nikmat hendaknya karena sang pemberi nikmat bukan karena nikmat atau pemberiaan itu sendiri.” Imam al-Ghazali kemudian menjelaskan lebih detail terkait ekspresi kebahagiaan atas nikmat Allah. Beliau membagi manusia menjadi tiga tipe dalam mengekspresikan kebahagiaan ketika mendapatkan nikmat. Tiga tipe ini beliau ilustrasikan dengan seorang raja yang ingin mengadakan sebuah perjalanan, lantas raja tersebut menghadiahkan seekor kuda kepada seseorang dengan tujuan agar ia mau menemani perjalannya. Dalam mengekspresikan kebahagiaan mendapat kuda dari raja ini maka akan didapati tiga macam bentuk tipe manusia sebagai berikut. Pertama, Bahagia karena mendapat kuda. Orang tersebut bahagia mendapat kuda, ekspresi kebahagiaannya karena kuda adalah asset yang bisa dia manfaatkan, transportasi tunggangan yang sesuai dengan keinginan, gagah, dan mewah. Kebahagiaannya bukan karena yang memberi adalah seorang raja, tapi semata karena barang yang diberikan adalah kuda. Seandainya dia mendapat kuda tersebut di padang sahara sekali pun, dia akan tetap merasa berbahagia sebagaimana dia mendapat kuda dari raja tadi. Menurut imam al-Ghazali, tipe ekspresi kebahagiaan seperti ini tidak merepresentasikan makna syukur yang sebenarnya. Sebab kebahagiaan orang tersebut hanya terbatas pada barang yang diberikan, bukan karena siapa yang memberi, juga bukan karena tujuan dari pemberian itu. Setiap orang yang mengekspresikan kebahagiaan atas nikmat yang didapat hanya sebatas karena nikmat itu saja, maka yang seperti ini tidak mencerminkan rasa syukur. Demikian penegasan imam al-Ghazali. Kedua, Bahagia karena yang memberi dia kuda adalah Raja. Orang tersebut bahagia dengan pemberian itu. Namun bukan karena kudanya, tapi karena itu adalah pemberian seorang raja. Sehingga, dengan kuda itu dirinya bisa membantu sang raja, menemaninya, dan perhatian terhadapnya. Karenanya, seandainya dia mendapatkan kuda itu di padang sahara, atau orang yang memberi bukan seorang raja, maka sikapnya akan biasa saja. Sebab, pada dasarnya dirinya memang tidak membutuhkan kuda itu. Materi Khutbah Jumat 3 Nikmat Allah yang Sering Diabaikan Imam al-Ghazali mengkategorikan ekspresi kebahagiaan seperti ini termasuk bentuk bersyukur kepada Allah subhanahu wata’ala. Ini ditinjau dari kebahagiaan tersebut muncul karena sang pemberi, bukan sebatas karena apa yang diberi. Lanjut beliau, ini adalah ekspresi syukur orang-orang shalih, mereka menyembah Allah subhanahu wata’ala dan bersyukur pada-Nya. Takut akan siksa-Nya dan mengharap pahala dari-Nya. Ketiga, Bahagia karena memahami maksud Raja memberi dia kuda. Orang tersebut bahagia dengan pemberian kuda itu. Kemudian kuda itu ia gunakan dengan penuh tanggung jawab untuk berkhidmat kepada sang raja dan memikul beratnya perjalan menemani raja. Pengabdiaan tersebut ia tunjukkan untuk memperoleh kedekatan dengan sang raja, bahkan dengang penuh harap ia berusaha memperoleh kedudukan sebagai wazirnya perdana menteri. Namun maksud dari ini tidak semata hanya ingin menjadi wazir raja, tapi tujuan sebenarnya adalah untuk bisa dekat dengan raja. Sehingga, seandainya sang raja memberi pilihan kepadanya antara menjadi wazir tapi tidak dekat dengan raja, atau dekat dengan raja tapi tidak menjadi wazir, maka pilihan kedua pasti diambilnya. Sebab, kedekatan dengan raja itulah tujuan utamanya. Inilah kategori ekspresi syukur yang paling sempurna, tegas Imam al-Ghazali. Ekspresi kebahagiaan orang tersebut tumbuh atas nikmat Allah subhanahu wata’ala, bahwa nikmat itu adalah pemberian-Nya, wasilah yang mengantarkannya semakin dekat kepada Allah subhanahu wata’ala, berada disamping-Nya, dan bisa melihat wajah-Nya. Ekspresi bahagiannya bukan karena dunia. Dalam pandangannya, dunia hanyalah tempat menanam agar kelak bisa memanen di akhirat. Sehingga rasa sedih akan muncul ketika nikmat yang diberi justru melalaikannya dari mengingat Allah subhanahu wata’ala dan menghalanginya dari jalan-Nya. Inilah tiga tipe manusia dalam mengekspresikan nikmat Allah subhanahu wata’ala. Dari tiga kelompok ini, nomor dua dan tiga adalah kelompok orang-orang yang benar-benar bersyukur. Sedangkan nomor satu, bukanlah orang yang bersyukur. Keterangan imam al-Ghazali ini kemudian diakhiri dengan beliau mengutip statemen imam as-Syibli rahimahullah, الشُّكْرُ رُؤْيَةُ الْمُنْعِمِ لَا رُؤْيَةُ النِّعْمَةِ “Syukur adalah melihat siapa yang memberi, bukan melihat apa yang diberi.” Semoga Allah subhanahu wata’ala menjadikan kita semua termasuk hamba-hamba-Nya yang bersyukur. Wallahu A’lam. Muhammad Ridwan/ Baca juga artikel tentang Tadabur atau artikel menarik lainnya karya Ustadz Muhammad Ridwan, Artikel selanjutnya Akhlak Nubuwah 1 Sederhana Dan Bersahaja Connection timed out Error code 522 2023-06-13 171507 UTC What happened? The initial connection between Cloudflare's network and the origin web server timed out. As a result, the web page can not be displayed. What can I do? If you're a visitor of this website Please try again in a few minutes. If you're the owner of this website Contact your hosting provider letting them know your web server is not completing requests. An Error 522 means that the request was able to connect to your web server, but that the request didn't finish. The most likely cause is that something on your server is hogging resources. Additional troubleshooting information here. Cloudflare Ray ID 7d6bf88d1e15b7fb • Your IP • Performance & security by Cloudflare Dalam artikel yang berjudul Sudahkah Anda Melakukan Tahadduts Bin Ni’mah? telah disebutkan bahwa menyebutkan nikmat Allah merupakan perintah Allah dan salah satu bentuk bersyukur kepada Allah Ta’ala. Dan sudah dijelaskan pula bahwa nikmat yang diperintahkan untuk disebutkan meliputi nikmat dunia maupun agama. Dengan demikian amal sholih termasuk salah satu kenikmatan yang diperintahkan untuk disebutkan juga, bahkan hakikatnya kenikmatan agama lebih besar daripada kenikmatan jika ada seorang muslim menyebutkan amal shalihnya kepada saudaranya, apakah ini dinilai sebagai perbuatan riya’ memamerkan amal shaleh atau ujub membanggakan amal shalih? Berikut keterangan para ulama rahimahumullahIbnul Qayyim rahimahullah berkata, “Perbedaan antara menyebutkan nikmat Allah tahadduts bin ni’mah dengan ujub merasa bangga dengan nikmat adalah orang yang menyebutkan suatu nikmat, berarti telah mengabarkan tentang sifat Dzat yang menganugerahkan nikmat tersebut, kedermawanan, dan perbuatan baik-Nya. Maka ia hakikatnya memuji Allah dengan menampakkan dan menyebutkan nikmat tersebut, bersyukur kepada-Nya dan menyebarkan kabar tentang seluruh anugerah-Nya. Jadi, maksudnya adalah menampakkan sifat-sifat Allah, memuji, menyanjung-Nya atas limpahan nikmat tersebut, mendorong diri untuk mencari nikmat itu dari-Nya,bukan dari selain-Nya, mendorong diri untuk mencintai dan mengharap-Nya, sehingga dengan demikian ia menjadi sosok hamba yang mengharap lagi tunduk mendekatkan diri kepada Allah dengan menampakkan, menyebarkan kabar tentang nikmat-Nya itu dan membicarakannya. Adapun membanggakan nikmat adalah menyombongkan diri di hadapan manusia, menampakkan kepada mereka bahwa ia lebih mulia dan lebih besar keutamaannya dari mereka, ia hendak menunggangi tengkuk baca merendahkan dan memperbudak hati mereka, serta memaksa mereka untuk menghormati dan melayaninya” Kitab Ar-Ruh, Ibnul Qoyyim, hal. 312.Syaikh Ibnul Utsaimin rahimahullah berkata, “Orang yang menyebutkan keta’atan amal shaleh dirinya,tidak terlepas dari dua keadaan Pendorongnya adalah ingin menyatakan dirinya suci dan menghitung-hitung amalnya di hadapan Rabbnya. Hal ini adalah perkara yang berbahaya, terkadang bisa merusak amalnya dan menggugurkannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah melarang hamba-Nya dari menyatakan diri bersih suci, Dia berfirmanفَلَا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ ۖ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَىٰ“Maka janganlah kalian mengatakan diri kalian suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa” QS. An-Najm32.Kedua, pendorongnya adalah ingin menyebutkan nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala tahadduts bin ni’mah, dan ia maksudkan hal itu sebagai wasilah agar dicontoh oleh orang-orang yang semisalnya. Ini merupakan tujuan yang terpuji karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ“Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu sebutkan” QS. Adh-Dhuha 11. Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,من سن في الإسلام سنة حسنة فله أجرها وأجر من عمل بها إلى يوم القيامة“Barangsiapa di dalam agama Islam memberi contoh amal shalih maksudnya yang pertama dalam mengamalkan suatu amal shalih dan manusia mencontohnya, maka dia akan mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang mengamalkannya sampai hari Kiamat” Nur alad Darb 30/12. Kesimpulan Catatan Kesimpulan Jika seorang hamba menyebutkan nikmat Allah termasuk di dalamnya nikmat amal sholeh sesuai dengan yang disyari’atkan,lalu manusia memujinya sehingga ia terkesan/senang dengan pujian tersebut,namun dalam hatinya tidak ada keinginan riya`memperlihatkan ibadah agar dipuji manusia dan sum’ah memperdengarkan suara dalam beribadah agar dipuji manusia,maka itu termasuk kabar gembira yang disegerakan bagi seorang yang dinamakan kabar gembira yang disegerakan bagi seorang mukmin bentuknya adalah seorang mukmin melakukan amal shalih dengan mengharap pahala Allah ikhlas lalu Allah jadikan manusia mengetahui, menyenangi dan memujinya, tanpa ada niat sengaja memamerkan amal shalihnya dan tanpa ada niat sengaja mencari pujian manusia, lalu ia senang dan terkesan dengan pujian Abi Dzar –radhiallahu anhu– berkata,‏ ‏‏قيل‏‏ يا رسول الله، أرأيت الرجل يعمل العمل من الخير، ويحمَده – أو يحبه – الناس عليه‏؟‏ قال‏‏ تلك عاجل بشرى المؤمن‏‏ رواه مسلم‏.‏“Ada yang berkata, Wahai Rasulullah, bagaimana pandangan Anda seseorang yang beramal dengan suatu amal kebaikan, lalu manusia memujinya atau mencintainya? Beliau bersabda Itu adalah kabar gembira yang disegerakan bagi seorang mukmin” Diriwayatkan oleh Imam Perlu diketahui, bahwa orang yang menyebutkan nikmat Allah tahadduts bin ni’mah dengan tanpa ada niat riya` dan sum’ah, maka bukanlah termasuk kedalam kategori “sikap sengaja menampakkan jenis yang tercela”, bahkan hal itu termasuk “sikap menampakkan jenis yang terpuji”, asal sesuai dengan yang A’lam.Diolah dari dan —Penulis Ust. Sa’id Abu UkkasyahArtikel Dalam artikel yang berjudul Sudahkah Anda Melakukan Tahadduts Bin Ni’mah? telah disebutkan bahwa menyebutkan nikmat Allah merupakan perintah Allah dan salah satu bentuk bersyukur kepada Allah Ta’ala. Dan sudah dijelaskan pula bahwa nikmat yang diperintahkan untuk disebutkan meliputi nikmat dunia maupun agama. Dengan demikian amal sholih termasuk salah satu kenikmatan yang diperintahkan untuk disebutkan juga, bahkan hakikatnya kenikmatan agama lebih besar daripada kenikmatan dunia. Berarti jika ada seorang muslim menyebutkan amal shalihnya kepada saudaranya, apakah ini dinilai sebagai perbuatan riya’ memamerkan amal shaleh atau ujub membanggakan amal shalih? Berikut keterangan para ulama rahimahumullah Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Perbedaan antara menyebutkan nikmat Allah tahadduts bin ni’mah dengan ujub merasa bangga dengan nikmat adalah orang yang menyebutkan suatu nikmat, berarti telah mengabarkan tentang sifat Dzat yang menganugerahkan nikmat tersebut, kedermawanan, dan perbuatan baik-Nya. Maka ia hakikatnya memuji Allah dengan menampakkan dan menyebutkan nikmat tersebut, bersyukur kepada-Nya dan menyebarkan kabar tentang seluruh anugerah-Nya. Jadi, maksudnya adalah menampakkan sifat-sifat Allah, memuji, menyanjung-Nya atas limpahan nikmat tersebut, mendorong diri untuk mencari nikmat itu dari-Nya,bukan dari selain-Nya, mendorong diri untuk mencintai dan mengharap-Nya, sehingga dengan demikian ia menjadi sosok hamba yang mengharap lagi tunduk mendekatkan diri kepada Allah dengan menampakkan, menyebarkan kabar tentang nikmat-Nya itu dan membicarakannya. Adapun membanggakan nikmat adalah menyombongkan diri di hadapan manusia, menampakkan kepada mereka bahwa ia lebih mulia dan lebih besar keutamaannya dari mereka, ia hendak menunggangi tengkuk baca merendahkan dan memperbudak hati mereka, serta memaksa mereka untuk menghormati dan melayaninya” Kitab Ar-Ruh, Ibnul Qoyyim, hal. 312. Syaikh Ibnul Utsaimin rahimahullah berkata, “Orang yang menyebutkan keta’atan amal shaleh dirinya,tidak terlepas dari dua keadaan Pendorongnya adalah ingin menyatakan dirinya suci dan menghitung-hitung amalnya di hadapan Rabbnya. Hal ini adalah perkara yang berbahaya, terkadang bisa merusak amalnya dan menggugurkannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah melarang hamba-Nya dari menyatakan diri bersih suci, Dia berfirman فَلَا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ ۖ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَىٰ “Maka janganlah kalian mengatakan diri kalian suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa” QS. An-Najm32. Kedua, pendorongnya adalah ingin menyebutkan nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala tahadduts bin ni’mah, dan ia maksudkan hal itu sebagai wasilah agar dicontoh oleh orang-orang yang semisalnya. Ini merupakan tujuan yang terpuji karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ “Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu sebutkan” QS. Adh-Dhuha 11.Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, من سن في الإسلام سنة حسنة فله أجرها وأجر من عمل بها إلى يوم القيامة “Barangsiapa di dalam agama Islam memberi contoh amal shalih maksudnya yang pertama dalam mengamalkan suatu amal shalih dan manusia mencontohnya, maka dia akan mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang mengamalkannya sampai hari Kiamat” Nur alad Darb 30/12. Kesimpulan Jika seorang hamba menyebutkan nikmat Allah termasuk di dalamnya nikmat amal sholeh sesuai dengan yang disyari’atkan,lalu manusia memujinya sehingga ia terkesan/senang dengan pujian tersebut,namun dalam hatinya tidak ada keinginan riya`memperlihatkan ibadah agar dipuji manusia dan sum’ah memperdengarkan suara dalam beribadah agar dipuji manusia,maka itu termasuk kabar gembira yang disegerakan bagi seorang mukmin. Dan yang dinamakan kabar gembira yang disegerakan bagi seorang mukmin bentuknya adalah seorang mukmin melakukan amal shalih dengan mengharap pahala Allah ikhlas lalu Allah jadikan manusia mengetahui, menyenangi dan memujinya, tanpa ada niat sengaja memamerkan amal shalihnya dan tanpa ada niat sengaja mencari pujian manusia, lalu ia senang dan terkesan dengan pujian itu. Dari Abi Dzar –radhiallahu anhu– berkata, ‏ ‏‏قيل‏‏ يا رسول الله، أرأيت الرجل يعمل العمل من الخير، ويحمَده – أو يحبه – الناس عليه‏؟‏ قال‏‏ تلك عاجل بشرى المؤمن‏‏ رواه مسلم‏.‏ “Ada yang berkata, Wahai Rasulullah, bagaimana pandangan Anda seseorang yang beramal dengan suatu amal kebaikan, lalu manusia memujinya atau mencintainya? Beliau bersabda Itu adalah kabar gembira yang disegerakan bagi seorang mukmin” Diriwayatkan oleh Imam Muslim. Catatan Perlu diketahui, bahwa orang yang menyebutkan nikmat Allah tahadduts bin ni’mah dengan tanpa ada niat riya` dan sum’ah, maka bukanlah termasuk kedalam kategori “sikap sengaja menampakkan jenis yang tercela”, bahkan hal itu termasuk “sikap menampakkan jenis yang terpuji”, asal sesuai dengan yang disyariatkan. Wallahu A’lam. — Penulis Sa’id Abu Ukkasyah Dipublikasi ulang dari

berikut ini adalah macam macam nikmat allah kecuali