DongengLegenda Batu Bagga, Cerita Rakyat Sulawesi Tengah Inilah dongeng legenda Batu bagga, cerita rakyat yang berasal dari daerah Sulawesi Tengah. Senin, 10 Januari 2022 17:46. 5 jam lalu - Jawa Barat. Baterai Nokia BL-6C BL6C Original 100% Nokia QD 6275 6265 E50 1150mAh
Ceritaini berasal dari Sulawesi Barat, sebagaimana dikisahkan oleh Adil Tambono, seorang penggiat budaya dan teater di Mandar, Sulawesi Barat. Karena kecantikannya, Sang Raja yang tengah berburu di hutan kemudian menyekapnya dan berniat memperistrinya. Namun, pada akhirnya Samba Paria berhasil mengakhiri kezaliman Sang Raja.
SukuToraja adalah suku yang menetap di pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan, Indonesia.Populasinya diperkirakan sekitar 1 juta jiwa, dengan sekitar 500.000 di antaranya masih tinggal di Kabupaten Tana Toraja, Kabupaten Toraja Utara, dan Kabupaten Mamasa. Mayoritas suku Toraja memeluk agama Kristen, sementara sebagian menganut Islam dan kepercayaan animisme yang dikenal sebagai Aluk To Dolo.
Dipostingdalam: Cerita Rakyat Nusantara, Cerita Rakyat Sulawesi Diarsipkan dalam: Cerita rakyat I Laurang Manusia Udang, Cerita rakyat Ksatria dan Burung Garuda, Cerita Rakyat Nusantara, Cerita rakyat Putri Tandampalik, Cerita rakyat Si Penakhluk Rajawali, Cerita Rakyat Sulawesi Selatan.
CeritaRakyat Panglima To Dilaling dari Sulawesi Barat Pada zaman dahulu kala, berdiri sebuah kerajaa di sebuah bukit bernama Napo di daerah Tammajarra, Kecamatan Balanipa, Kabupaten Poliwali Mandar, Sulawesi Barat. Kerajaan itu dikenal dengan nama Kerajaan Balanipa yang dipimpin oleh Raja Balanipa.
produk jasa profesi dan profesionalisme dimulai dengan melakukan. Hampir semua provinsi di Nusantara memiliki legenda atau cerita rakyatnya masing-masing. Kali ini giliran Cerita Rakyat dari Sulawesi Barat yang akan Kakak ceritakan kepada adik-adik semua. Dongeng rakyat Sulawesi Barat ini bercerita mengenai asal muasal Pamboang. Tiga orang pemuda dari kampung Benua, berniat memperluas permukiman dan ladang penduduk, termasuk membangun pelabuhan agar masyarakat lebih makmur. Mereka diberi gelar I Lauase, I Lauwella, dan I Labuqang. Gelar tersebut didapat sesuai dengan bidang yang mereka kerjakan dalam mewujudkan keinginan mereka itu. I Lauase bertugas membuka hutan menjadi ladang dengan menggunakan wase, yaitu sejenis kapak. I Lauwella bertugas membabat dan membersihkan wella atau rumput laut di pantai untuk dijadikan tempat perdagangan. Sementara itu, I Labuqang bertugas meratakan tanah di pantai yang berlubang-Iubang, karena ulang buqang atau kepiting. Mereka berencana menyelesaikan pekerjaan mereka dengan baik dan dalam waktu yang cepat. Dengan demikian, mulailah mereka mengelola lahan tersebut. “Apa nama yang tepat untuk wilayah kota ini?” ujar I Labuqang. “Bagaimana kalau Pallayarang Tallu?”” seru I Lauase, “Pallayarang artinya tiang layar. Tallu artinya tiga. Berarti tiga tiang layar.” Ketiganya menganggap itu nama yang bagus. Pada suatu hart, datanglah sekitar pengungsi yang dipimpin oleh seseorang yang bernama Puatta Di Karena. Mereka berasal dari wilayah Adolang yang merupakan wilayah perbatasan dengan Pallayarang Talu. Mereka adalah pengungsi dari Kerajaan Passokkorang yang telah hancur diserang musuh. Setelah agak lama menetap di sana, Puatta Di Karena pergi menemui I Lauase dan mengajaknya bergabung dalam persekutuan Kerajaan Mandan “Biarkan aku berunding dulu dengan yang lain, datanglah kembali besok,” kata I Lauase. Ternyata, I Lauwase dan I laubuqang tidak setuju. Keesokan harinya, I Lauase menyampaikan kesepakatan bahwa mereka tidak berminat ikut bergabung dengan persekutuan itu. “Bagaimana kalau kami berikan tambo upah untuk kalian? Namun, wilayah ini harus masuk dalam persekutuan,” kata Puatta Di Karena. Dengan pertimbangan, yaitu jika mereka terus-menerus mendapatkan tambo, kehidupan masyarakatnya akan lebih makmur, ketiganya sepakat menerima tawaran tersebut. “Kapan kau akan mengantarkan tambo itu kepada kami?” “Seminggu dari sekarang,” kata Puatta Di Karena. Akhirnya, mereka bertiga masuk dalam persekutuan Kerajaan Mandar. Namun, Puata Di Karena tidak pernah datang memberikan upah tambo. Akhirnya, kata-kata tambo menjadi bahan pembicaraan masyarakat Pallayarang Talu. Lama-kelamaan nama daerah itu berubah menjadi daerah Tamboang, dan sekarang sudah berubah menjadi Pamboang. Pesan moral dari Cerita Rakyat dari Sulawesi Barat Asal Muasal Pamboang adalah segala macam masalah dapat diselesaikan dengan musyawarah. selain itu tepatilah semua janji yang kalian ucapkan. Baca cerita rakyat dari Sulawesi lainnya pada posting berikut ini Cerita Rakyat Sulawesi Barat dan Kalimantan Timur dan Kumpulan Cerita Rakyat Daerah Sulawesi Barat Navigasi pos
SOLO - Cerita rakyat merupakan salah satu kekayaan budaya yang perlu diketahui dan dipelajari. Ada banyak jenis cerita rakyat Indonesia. Bahkan, di setiap daerah biasa nya memiliki cerita rakyat yang berbeda-beda. Lantas, apa saja cerita rakyat yang ada di Indonesia? Simak penjelasan selengkapnya berikut ini. Contoh Cerita Rakyat Indonesia Secara umum, pengertian cerita rakyat adalah kisah dari budaya masyarakat sekitar. Biasanya, cerita rakyat berisi dari kisah masa lalu. Dalam cerita rakyat terdapat amanat yang bisa menjadi pembelajaran. Maka dari itu, seringkali cerita rakyat dibacakan atau diceritakan ke anak-anak karena bersifat edukatif. Berikut ini beberapa cerita rakyat dari Indonesia yang populer. 1. Malin Kundang Cerita rakyat indonesia satu ini dari Sumatera Barat, sangat populer di kalangan masyarakat. Malin Kundang merupakan cerita rakyat yang mengisahkan anak durhaka bernama Malin yang dikutuk menjadi batu. Malin berasal dari keluarga tidak mampu. Saat beranjak dewasa, Malin pergi ke luar kota untuk merantau. Setelah merantau, Malin sukses menjadi orang kaya dan menikah dengan perempuan kaya. Seusai menikah, Malin dan istrinya pergi berlayar. Kapal yang mereka tunggangi berlibur di kampung halaman Malin. Sang ibu melihat kedatangan Malin dan menyambut hangat kedatangan anak kesayangannya. Namun, tanpa diduga ternyata Malin pura-pura tidak mengenali ibunya karena merasa malu dengan kondisi ibunya. Mengetahui hal tersebut, sang ibu marah lantas mengutuk Malin menjadi batu. Cerita rakyat Indonesia singkat ini memberikan pelajaran kepada kita semua agar tidak melupakan orang tua. Pasalnya, kesuksesan yang kita raih semua berkat doa dan dukungan dari orang tua. 2. Bawang Merah dan Bawang Putih Bawang Merah dan Bawang Putih merupakan contoh cerita rakyat indonesia lain yang populer di kalangan masyarakat. Cerita rakyat ini mengisahkan seorang anak bernama Bawang Putih yang kehilangan ibunya yang meninggal dunia. Setelah itu, ayah Bawang Putih menikah dengan perempuan yang memiliki anak bernama Bawang merah. Pada awalnya, mereka hidup rukun. Akan tetapi, suatu hari ayah Bawang Putih meninggal dunia. Suatu hari, Bawang Putih tidak sengaja menghanyutkan baju miliki ibu tirinya yang membuat sang ibu sangat marah dan meminta Bawang Putih untuk mencarinya. Bawang Putih kemudian berhasil menemukan baju tersebut yang ternyata sudah berada di tangan nenek tua. Nenek tersebut akan mengembalikan baju tersebut dengan syarat Bawang Putih harus menemaninya selama seminggu. Bawang Putih menyetujuinya. Seminggu setelahnya, nenek tersebut memberikan labu kepada Bawang Putih. Setelah dibuka ternyata labu tersebut berisi emas. Bawang Merah mengetahui hal tersebut. Kemudian, ia melakukan hal serupa. Ketika hendak pulang, ia kemudian meminta labu kepada nenek tersebut dan memilih yang ukurannya paling besar. Sesampainya di rumah, Bawang Merah membuka labu tersebut. Tanpa diduga, isi labu tersebut bukan emas, melainkan hewan berbahaya. Hewan tersebut kemudian mengutuk Bawang Merah dan ibunya sampai meninggal. Dari cerita rakyat indonesia tersebut terdapat amanat yang mengajarkan pada kita agar tidak mudah iri dengki dan serakah. Sepatutnya kita turut bahagia saat ada orang lain yang mendapatkan keberuntungan. Itulah contoh cerita rakyat Indonesia yang populer. Selain kedua cerita rakyat yang sudah disebutkan, masih ada beberapa contoh cerita rakyat lain yang tak kalah populer dan menarik untuk dipelajari. Untuk mengetahui cerita rakyat yang berasal dari Indonesia, Anda bisa membeli buku cerita rakyat. Sebaiknya, cerita rakyat terus dikenalkan kepada anak-anak karena terdapat banyak pelajaran yang bisa dipetik. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Hawadiyah ialah seorang gadis yatim miskin yang hidup di sebuah desa di kawasan Mandar, Sulawesi Barat. Pada suatu waktu, seorang Mara`dia Raja Jawa datang melamarnya dan mengajaknya untuk menikah di Pulau Jawa. Namun, niat baik Mara`dia Jawa itu dihalang-halangi oleh seorang gadis bernama Bekkandari. Mengapa Bekkandari menghalang-halangi pernikahan Hawadiyah dengan Mara`dia Jawa? Kemudian, apa yang dilakukan Bekkandari untuk menghalangi pernikahan mereka? Kisahnya dapat Anda ikuti dalam cerita Hawadiyah berikut ini. Diceritakan, pada zaman dahulu kala, hiduplah dua orang gadis yang tinggal di sebuah desa di kawasan Mandar. Gadis yang pertama bernama Bekkandari, sedangkan gadis yang kedua bernama Hawadiyah. Kedua gadis tersebut memiliki perbedaan yang sangat mencolok, terutama dari segi banyaknya harta. Bekkandari berasal dari keluarga yang sangat kaya. Ayahnya memiliki perkebunan kelapa yang luas dan usaha pembuatan minyak goreng. Sementara Hawadiyah seorang gadis yatim yang berasal dari keluarga yang sangat miskin. Ia tinggal bersama ibunya di sebuah gubuk reyot di ujung desa. Untuk memenuhi kehidupan mereka sehari-hari, Hawadiyah bersama ibunya membantu usaha keluarga Bekkandari. Cerita Rakyat Nusantara Sulawesi Barat Hawadiah Pada suatu hari, Bekkandari bersama ayahnya sedang panen kelapa di kebunnya. Hawadiyah dan ibunya pun turut membantu mengumpulkan buah kelapa yang baru dipetik dari pohonnya. Setelah setengah hari bekerja, mereka pun selesai mengumpulkan ratusan butir kelapa. Sebelum Hawadiyah dan ibunya pulang, ayah Bekkandari memberi mereka lima butir kelapa sebagai upah. Sesampai di rumah, ibu Hawadiyah memarut dan memasak kelima butir kelapa tersebut untuk diambil minyaknya. Rencananya, ia akan menitipkan minyak kelapa itu kepada ayah Bekkandari untuk dijual ke Pulau Jawa. Pada suatu hari, terdengarlah kabar bahwa ayah Bekkandari akan segera berangkat ke Pulau Jawa. Mendengar kabar itu, beramai-ramailah penduduk menitipkan minyak kelapanya kepada juragan minyak itu untuk dijual kepada Mara`dia Jawa. Tidak ketinggalan pula ibu Hawadiyah, ia menitipkan minyak kelapanya yang disimpan dalam sebuah wadah bambu. Sebelum mengantar minyak kelapanya kepada ayah Bekkandari, terlebih dahulu ia membaca sebaris mantra lalu meniupkannya ke dalam bambu, dengan harapan Mara`dia Jawa akan tertarik dan jatuh hati kepada anaknya ketika melihat dan mencium bau minyak tersebut. Setelah menyiapkan segala keperluannya, berangkatlah ayah Bekkandari bersama beberapa orang pekerjanya menuju ke Pulau Jawa dengan menaiki kapal pribadinya. Sudah lima hari lima malam mereka terombang ambing di tengah laut, namun tak kunjung sampai ke tujuan. Padahal, perjalanan dari Teluk Mandar menuju Pulau Jawa biasanya hanya ditempuh selama tiga hari tiga malam. Hal itulah yang membuat juragan minyak kelapa itu menjadi panik dan bingung. ”Hei Nahkoda! Kenapa kita belum juga sampai di Pulau Jawa? Bukankah kita sudah lima hari lima malam di tengah lautan?” tanya ayah Bekkandari dengan perasaan cemas. “Maaf, Tuan! Saya juga tidak tahu apa gerangan penyebabnya. Padahal kecepatan kapal ini berada di atas rata-rata,” jawab nahkoda kapal itu. Mendengar jawaban itu, ayah Bekkandari terdiam sejenak. Ia bingung memikirkan penyebab keterlambatan kapalnya tiba di Pulau Jawa. Beberapa saat kemudian, ia pun teringat dengan sesuatu hal. Rupanya, ia lupa membawa minyak titipan ibu Hawadiyah. ”Mmm… jangan-jangan inilah penyebab keterlambatan perjalananku ke Pulau Jawa,” pikirnya dalam hati. Setelah benar-benar yakin bahwa hal itulah yang menjadi penyebabnya, ia segera memerintahkan kepada nahkodanya agar memutar haluan arah kapal. ”Nahkoda! Putar haluan arah kapal ini. Kita harus kembali ke Tana Mandar,” ujar si juragan kaya itu. ”Kenapa begitu, Tuan? Bukankah sebentar lagi kita akan sampai Pulau Jawa?” tanya nahkoda kapal bingung. ”Tidak mungkin! Kita tidak mungkin sampai di Pulau Jawa sebelum mengambil minyak titipan ibu Hawadiyah,” jawab juragan minyak itu sambil menggeleng-gelengkan kepala. Dengan diselimuti tanda tanya, si nahkoda kapal pun segera memutar balik haluan kapal menuju Teluk Mandar. Setelah menempuh perjalanan selama lima hari lima malam, akhirnya mereka pun tiba di Teluk Mandar. Ayah Bekkandari segera mengambil minyak titipan ibu Hawadiyah yang tertinggal di rumahnya, lalu kembali berlayar menuju ke Pulau Jawa. Alangkah terkejutnya juragan kaya itu beserta anak buahnya, karena hanya dalam waktu dua hari dua malam, mereka sudah sampai di Pulau Jawa. Setibanya di Pulau Jawa, ayah Bekkandari langsung membawa semua minyak kelapanya ke kediaman Mara`dia Jawa. Alangkah senang hati Mara`dia Jawa, karena ayah Bekkandari membawakannya banyak minyak kelapa untuk ia jual kembali kepada padagang dari luar negeri. Begitu pula ayah Bekkandari, ia merasa senang sekali, karena semua minyak kelapanya habis terjual. Setelah membeli segala kebutuhannya, ia bersama rombongannya segera kembali ke Tana Mandar. Di tengah perjalanan, ayah Bekkandari kembali dikejutkan oleh kejadian aneh. Sudah empat hari empat malam mereka menempuh perjalanan, namun kapal yang mereka tumpangi belum juga sampai di Teluk Mandar. Melihat keadaan itu, ayah Bekkandari langsung teringat pada minyak kelapa milik ibu Hawadiyah. Ia pun segera memeriksa ruangan tempat penyimpanan barang di kapalnya. Alangkah terkejut ketika ia melihat minyak kelapa itu masih ada di tempatnya. Rupanya, ia lupa menjualnya kepada Mara`dia Jawa. Akhirnya, ia pun segera memerintahkan nahkodanya untuk kembali ke Pulau Jawa. Setelah menjual minyak kelapa tersebut, hanya dalam waktu dua hari dua malam, ia bersama rombongannya sudah tiba di Tana Mandar, Sulawesi Barat. Sementara itu, Mara`dia Jawa sedang asyik mengamati sebuah wadah bambu berisi minyak kelapa yang diberikan terakhir oleh ayah Bekkandari. Alangkah terkejutnya Mara`dia Jawa itu setelah membuka tutup wadah minyak kelapa itu. Tiba-tiba ia melihat wajah seorang gadis cantik yang memantul dari permukaan minyak. Wajah cantik itu tidak lain adalah wajah si gadis miskin, Hawadiyah. ”Hei… bukankah gadis ini yang sering hadir dalam mimpiku?” tanya Mara`dia Jawa dalam hati. Kali ini, Mara`adia Jawa benar-benar yakin dengan keberadaan gadis yang sering hadir di dalam mimpinya itu. Ia pun berniat untuk pergi mencarinya ke Tana Mandar. Dua minggu kemudian, ketika ayah Bekkandari datang mengantarkan minyak kelapa kepadanya, ia pun ikut serta bersama ayah Bekkandari yang akan pulang ke Tana Mandar. Selama dalam perjalanan, ia selalu berharap agar dapat menemukan gadis impiannya itu. Setibanya di Mandar, Mara`dia Jawa tinggal di rumah keluarga Bekkandari untuk beberapa hari lamanya. Sejak pertama datang, penguasa tanah Jawa itu senantiasa mendapat jamuan istimewa dari keluarga Bekkandari. Berbagai macam makanan dan minuman khas Mandar dihidangkan. Rupanya, putri si juragan minyak yang bernama Bekkandari, diam-diam jatuh hati kepadanya. Ia seringkali mencari-cari perhatian, agar Mara`dia Jawa itu suka kepadanya. Mara`dia Jawa pun sebenarnya tahu maksud gelagat Bekkandari, akan tetapi ia merasa bahwa bukan dialah gadis yang ia inginkan. Pada suatu pagi, ketika Mara`dia Jawa bersama ayah Bekkandari sedang duduk-duduk di teras rumah sambil menikmati kopi panas dan pisang goreng hangat, tiba-tiba seorang gadis lewat di depan rumah itu. Ia pun langsung terperangah melihat gadis itu. ”Hei, siapa gadis itu? Sepertinya aku pernah melihatnya,” tanya Mara`dia Jawa kepada ayah Bekkandari. ”Maksud Tuan gadis yang baru lewat itu?” ayah Bekkandari balik bertanya. ”Iya, Pak!” jawab Mara`dia Jawa singkat. ”Gadis itu bernama Hawadiyah. Ia seorang yatim dan miskin. Ia tinggal bersama ibunya di sebuah rumah panggung yang hampir roboh di ujung desa ini,” jelas ayah Bekkandari. ”Mereka adalah buruh di kebun kelapaku,” tambah ayah Bekkandari dengan nada sombong. Mara`dia Jawa hanya tersenyum mendengar penjelasan juragan minyak kelapa itu. Ketika hari menjelang siang, Mara`dia itu hendak menemui gadis itu. Saat ia berada di ujung desa, tampaklah sebuah rumah panggung yang sudah tua. Atapnya yang terbuat dari daun rumbia sudah bocor. Dindingnya yang terbuat dari gedek pun banyak yang berlubang-lubang. Dengan perasaan ragu-ragu, ia pun mengetuk pintu rumah itu. Alangkah terkejutnya ketika ia melihat seorang gadis cantik membuka pintu. Ia seakan-akan tidak percaya bahwa gadis yang berdiri di hadapannya sama persis dengan gadis yang selalu hadir di dalam mimpinya. ”Tidak salah lagi, inilah gadis yang sering menemuiku di dalam mimpi,” kata Mara`dia Jawa dalam hati dengan perasaan senang, karena telah menemukan gadis impiannya. Pada saat itu pula Mara`dia Jawa pun langsung meminang Hawadiyah dan berniat untuk membawanya pulang ke Pulau Jawa. Ia berencana akan melangsungkan pesta pernikahannya di Pulau Jawa dengan penuh kemeriahan. Mendengar kabar itu, Bekkandari menjadi iri hati dan dendam kepada Hawadiyah. Ia pun segera mencari cara untuk menggagalkan pernikahan mereka. Setelah berpikir sejenak, akhirnya ia pun menemukan caranya, yakni mencelakai Hawadiyah. ”Maaf, Tuan! Bolehkah hamba ikut bersama kalian ke Pulau Jawa? Hamba ingin menyaksikan pesta pernikahan kalian,” pinta Bekkandari kepada Mara`dia Jawa. ”Dengan senang hati,” jawab Mara`dia Jawa sambil mengangguk-anggukan kepala. Keesokan harinya, berangkatlah mereka menuju ke Pulau Jawa dengan menumpang kapal milik ayah Bekkandari. Di tengah perjalanan, Bekkandari menyuruh beberapa orang anak buah ayahnya untuk menculik Hawadiyah. Setelah menyekap gadis miskin itu di sebuah ruang tersembunyi, Bekkandari segera mengambil tadzu[1] dan menyiramkannya ke wajah Hawadiyah. Sungguh malang nasib gadis miskin itu. Wajahnya yang semula halus dan lembut tiba-tiba berubah menjadi kasar dan keras. Setelah itu, Bekkandari melepaskan Hawadiyah untuk menemui calon suaminya. Hawadiyah pun tidak berani menceritakan peristiwa yang baru saja dialaminya, karena Bekkandari mengancam akan membunuhnya. Alangkah terkejutnya Mara`dia Jawa ketika melihat wajah calon permaisurinya. ”Hei… apa yang terjadi denganmu? Kenapa wajahmu rusak begitu?” tanya Mara`dia Jawa penasaran. ”Maafkan Dinda, Kanda! Dinda terlalu ceroboh. Ketika berkeliling-keliling di kapal ini, tiba-tiba Dinda ketumpahan tadzu,” jawab Hawadiyah yang harus berbohong kepada calon suaminya. Mendengar jawaban itu, Mara`dia Jawa tidak dapat berbuat apa-apa. Ia harus menerima kenyataan pahit itu. Namun ketika mereka sampai di Pulau Jawa, rupanya ibu Mara`dia Jawa tidak sudi menerima Hawadiyah sebagai menantunya. Akhirnya, Hawadiyah pun diasingkan ke sebuah tempat untuk dijadikan penjaga sawah Mara`dia Jawa. Sementara, Bekkandari dipilih menjadi permaisuri Mara`dia Jawa. Pada suatu hari, beberapa orang pengawal Mara`adia Jawa mengantarkan makanan untuk Hawadiyah. Alangkah terkejutnya para pengawal itu ketika ia melihat seorang gadis cantik sedang duduk di rumah-rumah sawah. ”Hei, kamu siapa? Ke mana si gadis buruk rupa itu?” tanya salah seorang pengawal. ”Maaf, Tuan! Akulah Hawadiyah, si gadis buruk rupa itu,” jawab Hawadiyah sambil tersenyum. Mendengar jawaban itu, para pengawal Mara`dia Jawa tersebut tersentak kaget. Mereka seakan-akan tidak percaya jika gadis yang di hadapan mereka adalah Hawadiyah. ”Bagaimana kamu bisa berubah menjadi cantik seperti itu?” seorang pengawal kembali bertanya kepada Hawadiyah. Hawadiyah pun menceritakan semua kejadian yang dialaminya, bahwa dia bisa kembali menjadi cantik setelah berkali-kali mandi di sungai atas perintah seekor burung kakaktua. Kemudian ia juga menceritakan semua peristiwa yang menyebabkan wajahnya menjadi jelek. Maka sejak itu, perilaku buruk Bekkandari terbongkar. Setelah mendengar cerita Hawadiyah, para pengawal tersebut segera melapor kepada Mara`dia Jawa. Semula, Mara`dia Jawa tidak percaya dengan laporan para pengawalnya itu. Namun, karena penasaran, akhirnya ia pun bergegas menuju ke sawah. Sesampainya di sawah, ia tersentak kaget ketika melihat wajah Hawadiyah kembali menjadi cantik seperti semula. Ia pun langsung memeluk gadis yang dicintainya itu dengan erat. ”Maafkan Kanda, Dinda! Kanda sudah mengetahui semuanya. Ternyata selama ini Kanda dibohongi oleh Bekkandari,” ucap Mara`dia Jawa. Akhirnya, Mara`dia Jawa mengajak Hawadiyah kembali ke istana untuk melangsungkan pernikahan mereka. Sesampai di istana, ia pun langsung mengusir Bekkandari kembali ke desa halamannya, di Tana Mandar. Sejak itu pula, Mara`dia Jawa memutuskan hubungan dagang dengan ayah Bekkandari. Pesta pernikahan Mara`dia Jawa dengan Hawadiyah dilangsungkan dengan meriah. Berbagai macam seni pertunjukan ditampilkan dalam acara tersebut. Undangan yang datang dari berbagai negeri turut berbahagia menyaksikan kedua mempelai. Sejak itu, Hawadiyah hidup bahagia bersama suaminya dan seluruh keluarga istana Kerajaan Jawa. Demikian cerita Mara`dia Jawa dari kawasan Mandar, Sulawesi Barat. Cerita di atas termasuk kategori dongeng yang mengandung pesan-pesan moral. Salah satu pesan moral yang terkandung di dalamnya adalah akibat buruk dari sifat dengki dan iri hati. Sifat ini tercermin pada perilaku Bekkandari yang telah menyiramkan tadzu ke wajah Hawadiyah, agar dialah yang akan dipilih menjadi permaisuri Mara`dia Jawa. Akibatnya, ia pun diusir dari istana Kerajaan Jawa setelah semua perbuatannya diketahui oleh Mara`dia Jawa. Dikatakan dalam tunjuk Ajar Melayu kalau suka dengki mendengki, orang muak Tuhan pun benci Pelajaran lain yang dapat dipetik dari Cerita Rakyat Nusantara Sulawesi Barat di atas adalah bahwa sifat dengki dan iri hati dapat membutakan hati seseorang. Jika hati sudah buta, seseorang dapat melakukan penganiayaan kepada orang lain. aca juga Dongeng Cerita Anak Yang Mendidik dari Sulawesi Tengah dan posting terbaik lainya yaitu Cerita Dongeng Indonesia Pendek dari Sulawesi Utara
Legenda Samba Paria kami masukan dalam koleksi kumpulan cerita rakyat daerah Sulawesi Barat. Cerita dongeng nusantara ini mengisahkan kuatnya persaudaran antara seorang adik dan kakak yang tinggal di Sulawesi Barat. Pesan moral dari cerita daerah nusantara Samba Paria patut untuk dicontoh. Yuk kitta ikuti cerita lengkap dari Hikayat Kisah Samba Paria. Kumpulan Cerita Rakyat Daerah Sulawesi Barat Legenda Samba Paria Tersebutlah seorang gadis pada zaman dahulu. Ia tinggal bersama adiknya di sebuah rumah panggung di tengah hutan belantara. Keduanya telah yatim piatu. Rumah panggung yang mereka huni rapat tertutup tanaman paria. Karena keadaan rumahnya yang tertutup tanaman paria itu maka orang-orang pun menyebut Si gadis dengan sebutan Samba Paria. Pada suatu hari Samba Paria dan adiknya memakan penganan yang terbuat dari singkong. Adiknya menjatuhkan satu makanan itu karena masih panas. Ia enggan memungutnya kembali karena makanan itu telah terkena tanah. Seekor anjing kesayangan Sang Raja yang tengah berburu menemukan makanan itu. Anjing itu menggigit dan membawa makanan tersebut untuk kemudian dibawanya kembali kepada Sang Raja. Sang Raja sangat keheranan mendapati anjing kesayangannya membawa makanan. la yakin pembuat makanan itu tidak jauh dari tempatnya berburu mengingat makanan itu masih hangat. Ia lantas memberi isyarat kepada anjingnya untuk mengantarkannya ke tempat anjing itu menemukan makanan tersebut. Dengan iringan para prajuritnya, Sang Raja akhirnya tiba di rumah panggung milik Samba Paria. Ketika bertemu dengan Samba Paria, Sang Raja sangat terpesona dengan kecantikan Samba Paria. Timbul niat jahat Sang Raja untuk menculik Samba Paria setelah ia mengetahui Samba Paria hanya tinggal berdua dengan adiknya yang masih kecil. Ia lantas berpura-pura meminta air minum. “Ampun Baginda Raja, air minum hamba telah habis,” jawab Samba Paria. “Namun, jika Baginda Raja bersedia menunggu, biarlah adik hamba mengambilkan air dari mata air di balik gunung terlebih dahulu.” Ketika adik Samba Paria tengah mengambil air, Sang Raja pun menjalankan niat jahatnya. Ia perintahkan para prajuritnya untuk membawa Samba Paria ke istana kerajaannya. Kumpulan Cerita Rakyat Daerah Sulawesi Barat Legenda Samba Paria Samba Paria mencari cara agar kepergiannya itu diketahui adiknya. Ia pun mengajukan syarat sebelum dibawa para prajurit Sang Raja. Katanya, “Perkenankan hamba membawa daun-daun paria. Sungguh, hamba sangat senang memakan sayur daun paria” Sang raja memenuhi permintaan Samba Paria. Samba Paria kemudian dibawa dengan kuda menuju istana kerajaan. Tanpa diketahui para prajurit yang mengawalnya, Samba Paria merobek daun-daun paria yang dibawanya itu dan dibuangnya di sepanjang jalan yang dilaluinya. Dengan cara itu ia berharap adiknya dapat mengikutinya hingga ke tempat dimana ia dibawa. Adik Samba Paria yang tidak menemukan kakaknya di rumah menjadi bingung dan takut. Ia yakin kemudian jika kakaknya itu dibawa paksa oleh Sang Raja. Ketika ia mendapati sobekan daun-daun paria yang berceceran di jalan, yakinlah ia jika sobekan daun-daun paria itu merupakan petunjuk dari kakaknya. Ia pun mengikutinya. Selama dua hari dua malam ia berjalan, tibalah adik Samba Paria itu di halaman sebuah istana kerajaan. Ia lantas berteriak-teriak mernanggil nama kakaknya dari luar halaman istana kerajaan. Adik Samba Paria terus memanggil-manggil, namun kakaknya itu tidak juga menyahut panggil- annya. Ia pun akhirnya berseru keras-keras, “Jika Kakak tidak menjawab panggilanku, tunjukkan setengah wajahmu di jendela itu!” Sang Raja sebenarnya mengetahui kedatangan adik Samba Paria itu. Didengarnya pula teriakan panggilan adik Samba Paria itu. Untuk mengelabui adik Samba Paria, karena Samba Paria tengah disekapnya, Sang Raja memperlihatkan wajah seekor kucing melalui jendela istananya tersebut. Adik Samba Paria keheranan ketika melihat wajah kucing dari balik jendela. Ia pun kembali berteriak, “Tunjukkan tangan Kakak!” Sang Raja lantas menunjukkan kaki depan kucing melalui jendela istananya. “Tunjukkan kaki Kakak!” Sang Raja memperlihatkan kaki belakang kucing. Adik Samba Paria pun jengkel. Dengan kesal ia lalu berujar, “Aku akan pulang ke rumah panggung kita di tengah hutan belantara. Namun sebelumnya, aku akan menanam pohon kelor di sini. Ingat-ingatlah, Kak. Jika pohon kelor itu layu, itu pertanda aku tengah menderita sakit keras. Jika pohon kelor itu mati, maka aku pun juga mati.” Samba Paria sangat sedih mendengar pesan adiknya itu. Ia tidak bisa berbuat apapun juga untuk menolong adiknya itu karena dua prajurit bersenjata senantiasa menjaganya dari luar ruang sekapan. Namun dengan berbagai cara, akhirnya Samba Paria dapat melihat pohon kelor yang ditanam adiknya. Hingga pada suatu hari dilihatnya pohon kelor itu terlihat layu. Pertanda adiknya tengah sakit keras. Samba Paria lantas mencari cara agar dapat bebas dari sekapan Sang Raja. Samba Paria mengajak dayang-dayang istana untuk mandi di sungai. Ketika tengah mandi, Samba Paria menjatuhkan cincin emas pemberian Sang Raja. Ia meminta semua dayang-dayang untuk mencari cincin emas itu. Maka, ketika para dayang-dayang itu sibuk mencari, Samba Paria diam-diam meninggalkan mereka. Dengan menaiki kuda yang telah disiapkannya terlebih dahulu, Samba Paria bergegas menuju rumah panggungnya. Adik Samba Paria sangat gembira melihat kakaknya telah pulang. Ia yang tengah sakit keras akhirnya bersedia makan masakan buatan kakaknya. Kesehatannya pun segera berangsur angsur membaik. Samba Paria merasa, Sang Raja tentu akan segera menyusulnya. Maka, ia pun menyiapkan sesuatu untuk menyambut kedatangan Sang Raja. Samba Paria mencampur cabe rawit, biji-biji merica, dan daun kelor dalam jumlah yang banyak. Campuran bahan-bahan itu lantas di campur dengan air dan abu dapur hingga menyerupai adonan kue. Ketika Sang Raja benar-benar datang, Samba Paria Iangsung menyiramkan ramuan rahasianya itu ke wajah Sang Raja. Sang Raja menjerit kesakitan ketika kedua matanya terkena ramuan rahasia buatan Samba Paria itu. Diusap-usapnya kedua matanya. Bukan berkurang rasa pedih yang dirasakannya, melainkan kian bertambah-tambah pedih. Ketika Sang Raja terus mengusap-usap matanya, ia terpeleset hingga tubuhnya jatuh dari rumah panggung. Lehernya membentur tanah dengan sangat keras hingga akhirnya Sang Raja pun menghembuskan napas terakhirnya. Samba Paria dan adiknya kemudian hidup dalam ketenangan dan kedamaian setelah Sang Raja yang jahat kelakuannya itu meninggal dunia. Keduanya tetap tinggal di rumah panggung mereka di tengah hutan belantara. Pesan moral dari Kumpulan Cerita Rakyat Daerah Sulawesi Barat Legenda Samba Paria adalah kita hendaklah saling sayang-menyayangi dan hormat-menghormati dengan saudara. Kebersamaan di antara saudara akan menjadikan kita kuat. Blog ini memuat cerita rakyat indonesia populer 34 Provinsi di Indonesia, meliputi cerita tentang hewan, tumbuhan, daerah, sejarah tempat dan dongeng horor yang penulis kemas seringan mungkin. Dongeng-dongeng di blog ini penulis dapat dari berbagai sumber, baik itu secara lisan maupun tulisan yang kemudian oleh penulis diceritakan kembali dalam buku ini secara sederhana. Penulis juga menuliskan pesan-pesan moral pada setiap akhir cerita, agar memudahkan anak dalam menyerap pesan-pesan yang disampaikan. Semoga blog ini bermanfaat bagi kita semua.
Cerita Rakyat Sulawesi Barat Legenda Si Kembar Sawerigading dan Tenriyabeng Apa kabar sobat blogger Jombang dan kawan pembaca The Jombang Taste se-Indonesia? Pada artikel sebelumnya kita sudah mengulas cerita Legenda Putri Tandampalik dari Sulawesi Selatan dan kisah dongeng Suri Ikun dari Provinsi NTT. Berikut ini cerita legenda si kembar yang terpisah sejak kecil dari Sulawesi Barat, yaitu Sawerigading dan Tenriyabeng. Selamat membaca. Pada jaman dulu ada seorang pemimpin kerajaan dari keturunan Raja Langit yang bernama La Tiuleng. Raja itu memiliki gelar Batara Lattu. Batara Lattu dikaruniai dua anak kembar, yaitu seorang anak laki-laki yang diberi nama Lawe atau La Madukelleng, namun anak laki-laki itu lebih dikenal dengan sebutan Sawerigading. Sedang saudara perempuannya bernama We Tenriyabeng. Dua saudara kembar itu adalah keturunan raja dan kelak akan menjadi tokoh bersejarah dari Sulawesi Barat. Meskipun terlahir sebagai saudara kembar, Sawerigading dan We Tenriyabeng tidak dibesarkan bersama-sama. Mereka hidup terpisah sejak kecil sehingga satu sama lain tidak saling mengenal. Begitulah salah satu isi peraturan adat pada saat itu. Jika ada anak terlahir kembar, maka mereka harus dipisahkan sejak kecil. Jika itu tidak dilakukan, maka Dewa akan murka kepada penduduk. Kisah Cinta Terlarang Saudara Sedarah Waktu terus bergulir hingga bertahun-tahun lamanya. Sawerigading dan We Tenriyabeng telah tumbuh dewasa. Sawerigading tumbuh menjadi pemuda yang gagah-perkasa. Ia memiliki tubuh yang tegap dan berwajah tampan. Begitu juga dengan We Tenriyabeng telah menjadi gadis cantik. Rambutnya panjang terurai dan senyumnya sungguh menawan. Suatu ketika Sawerigading sedang berjalan di sebuah desa, tiba-tiba ia melihat gadis yang sangat cantik berlalu di hadapannya. Sawerigading jatuh cinta pada pandangan pertama. Gadis itu sungguh mempesona. Ia ingin sekali berkenalan dan menjalin kasih dengannya. Maka dengan mengumpulkan segenap keberanian diri, Sawerigading menyapa gadis cantik itu. “Siapakah namamu, wahai gadis cantik?” tanya Sawerigading. “Namaku We Tenriyabeng,” jawab We Tenriyabeng dengan tersipu. Perkenalan Sawerigading dan We Tenriyabeng pun berlanjut. Sawerigading mengutarakan keinginannya untuk menikahi We Tenriyabeng. Begitu pula dengan We Tenriyabeng ternyata jatuh cinta kepada Sawerigading. Hati Sawerigading dan We Tenriyabeng berbunga-bunga. Cinta mereka berdua ternyata saling berbalas. Mereka pun setuju untuk melangsungkan pernikahan secepatnya. Sesuai adat yang ada, sebelum dilaksanakan pernikahan maka kedua orang tua mereka harus dipertemukan. Sawerigading dan We Tenriyabeng saling mengundang ayah dan ibu masing-masing ke tempat pertemuan. Ketika keduanya sepakat untuk meminta restu kedua orang tuanya, betapa terkejutnya mereka mengetahui bahwa mereka adalah saudara kembar yang terpisah. “Jadi, engkau adalah saudaraku?” Sawerigading berkata dengan mata terbelalak. Ia hampir tidak mempercayai kenyataan ini. Hancurlah perasaan Sawerigading dan We Tenriyabeng. Sawerigading dengan hati sangat kecewa pergi meninggalkan Kerajaan Luwu dan bersumpah tidak ingin kembali. Sedangkan, We Tenriyabeng pergi entah ke mana. Tidak ada lagi penduduk Luwu yang bertemu dengan Sawerigading dan We Tenriyabeng. Keduanya terlanjur kesal karena merasa dipermainkan nasib. Berusaha Melupakan Masa Lalu Diceritakan bahwa Sawerigading yang ketika itu pergi mengembara akhirnya tiba di sebuah negeri Tiongkok. Di sana dikabarkan ia mengalahkan beberapa kesatria Kerajaan Tiongkok sehingga diangkat menjadi pemimpin para kesatria. Sawerigading terus belajar berperang dan menghimpun kekuatan. Ia tidak ingin mengingat kisah cintanya dengan We Tenriyabeng yang kandas ketika menjelang pernikahan. Namun kehidupan terus berputar. Kisah cinta Sawerigading ternyata belum berakhir, ia bertemu seorang putri cantik asal Tiongkok bernama Cudai. Setelah sekian lama, ternyata Sawerigading menjadi seorang kapten yang perkasa. Dalam perjalanannya, ia berlayar ke daerah Ternate di Maluku, Sumbawa, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sunda dan Malaka. Pekerjaan berlayar menjadikannya pemimpin yang kaya-raya. Setelah menikah, Sawerigading dikaruniai seorang anak laki-laki, ia bernama I La Galigo dan bergelar Datunna Kelling. Dikisahkan bahwa I La Galigo ketika dewasa menjadi seorang kapten kapal seperti ayahandanya. Namun, ia tidak pernah menjadi seorang raja. I La Galigo dikabarkan memiliki empat orang istri dari berbagai negeri. Ia pun karunia anak yang salah satunya bernama La Tenritatta. La Tenritatta adalah keturunan terakhir yang dinobatkan di kerajaan Luwu. Amanat cerita rakyat mengenai kisah saudara kembar Sawerigading dan We Tenriyabeng dari Sulawesi Barat ini adalah kita diharuskan mengenal saudara sendiri. Sesama saudara harus menjalin silaturahmi dengan baik. Sebab jika tidak mengenal kerabat sendiri bisa-bisa kita berbuat salah kepada saudara kita sendiri. Semoga cerita rakyat dari Sulawesi Barat ini bisa memberi manfaat untuk Anda. Sampai jumpa di artikel The Jombang Taste berikutnya. Daftar Pustaka Rahimsyah, MB. 2007. Kumpulan Cerita Rakyat Nusantara Lengkap dari 33 Provinsi. Bintang Usaha Jaya, Surabaya. Artikel Terkait
cerita rakyat sulawesi barat